A. Pengantar
Para ahli ilmu sosial,
khususnya sosiolog, berupaya menemukan teori berdasar data empiris, bukan
membangun teori secara deduktif logis. Itulah yang disebut grounded theory[1], dan model penelitiannya disebut grounded
research. Penemuan teori dari data empirik yang diperoleh secara sistematis
dalam penelitian sosial, merupakan tema utama dari metodologi penelitian
kualitatif model grounded research[2]. Grounded theory ditemukan pada tahun 1967
oleh Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss dengan diterbitkannya buku berjudul
The Discovery of Grounded Theory.
Pertama kali grounded research diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970-an, dengan diselenggarakannya pelatihan penelitian ilmu sosial bagi ilmuan Indonesia di Surabaya, Ujung Pandang, dan Banda Aceh. Pelatihan ini berlangsung selama dua semester, dengan beberapa narasumber asing, seperti Lance castle dan Stuart A. Schegel. Awal tahun 1980-an, Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (LPIIS) bekerjasama dengan FISIP UI, dan beberapa perguruan tinggi di luar Jawa, melakukan hal yang sama. Perkembangan tersebut terus berlangsung hingga kini, dan bukan hanya dalam kajian sosiologi, tetapi juga sudah banyak meluas dalam penelitian bidang komunikasi, kesehatan, psikologi, dan pendidikan.
B. Pelaksanaan Grounded Research
Pelaksanaan dalam grounded research bertolak belakang
dengan penelitian kuantitatif pada umumnya, yang bergerak dari level konseptual
teoritik ke level empirikal. Grounded research bergerak dari level empirikal
menuju level konseptual teoritikal.
Dalam penelitian ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, proposisi[3], dan teori tertentu. Secara provokatif, sering dikatakan agar peneliti masuk ke lapangan dengan “kepala kosong”[4], tanpa membawa apapun yang sifatnya apriori, apakah itu konsep, proposisi, ataupun teori. Hal ini disebabkan, dengan membawa konsep, proposisi, teori yang bersifat apriori, dikhawatirkan terjebak pada kecenderungan studi verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri dengan level konseptual teoritikal.
Berdasarkan keadaan “kepala kosong” inilah, diharapkan peneliti dapat sepenuhnya terpancing kepada kenyataan berdasarkan data lapangan itu sendiri, baik dalam mendeskripsikan apa yang terjadi, maupun menjelaskan kemengapaannya. Dengan demikian, apa yang ditemukan berupa konsep, proposisi, dan teori, benar-benar berdasarkan data yang dikembangkan secara induktif.
Terkait proses tersebut, terdapat tiga unsur dasar yang perlu dipahami dan tidak bisa saling dipisahkan, yaitu konsep, kategori, dan proposisi[5]. Konsep diperoleh melalui konseptualisasi data. Peristiwa atau kejadian diperhatikan dan dianalisis sebagai indikator potensial dari fenomena yang kemudian diberikan nama/lebel secara konseptual. Berikutnya, dibandingkan dengan kejadian yang lain, apabila terdapat keserupaan, maka diberikan nama dengan istilah yang sama. Begitupula berlaku dengan peristiwa yang berbeda.
Unsur kedua adalah kategori. Kategori adalah kumpulan yang lebih tinggi dan abstrak dari konsep. Kategori diperoleh melalui proses analisis yang sama dengan cara membuat perbandingan dengan melihat persamaan dan perbedaan. Kategori merupakan landasan dasar penyusunan teori. Unsur ketiga adalah proposisi. Proposisi menunjukkan adanya hubungan konseptual, yakni suatu pernyataan berdasarkan hubungan berbagai konsep yang mengandung deskripsi sistem pemahaman tertentu yang relevan dengan kondisi di lapangan. Pembentukkan dan pengembangan konsep-konsep, kategori, dan proposisi merupakan suatu keharusan dalam proses penyusunan teori, atau melalui proses interaktif.
Ada lima tahap dalam menghasilkan teori pada grounded research, yakni (1) disain penelitian, (2) pengumpulan data, (3) display data, (4) analisi data, dan (5) membandingkan dengan literatur[6]. Dari lima tahap ini, sembilan langkah perlu dilakukan, yakni (1) peninjauan ulang literatur teknis, (2) pemilihan kasus, (3) pembuatan panduan pengumpulan data yang akurat, (4) terjun ke lapangan, (5) penyusunan data, (6) analisis data yang berhubungan dengan kasus awal, (7) percontohan teoritik, (8) penyelesaian penelitian, dan (9) perbandingan teori yang muncul dengan literatur yang sudah ada.
Grounded research memang tidak terlalu mudah dilakukan terutama oleh peneliti pemula, sebab memiliki model analisis data yang terus-menerus, selama data di lapangan masih tetap dikumpulkan. Proses open coding merupakan bagian dari analisis data, dimana peneliti melakukan identifikasi, penamaan, kategorisasi dan penguraian gejala yang ditemukan dalam teks hasil dari wawancara, observasi, dan catatan harian peneliti itu sendiri. Berikutnya adalah axial coding. Tahap ini, adalah menghubungkan berbagai kategori penelitian dalam bentuk susunan property (sifat-sifat) yang dilakukan dengan menghubungkan kode-kode, dan merupakan kombinasi cara berfikir induktif dan deduktif.
Tahap selanjutnya adalah, selective coding, yakni memilih kategorisasi inti, dan menghubungkan kategori-kategori lain pada kategori inti. Selama proses coding ini, diadakan aktivitas penulisan memo teoritik. Memo bukan sekedar gagasan kaku, namun terus berubah dan berkembang atau direvisi sepanjang proses penelitian berlangsung. Itulah inti penemuan grounded theory yang digagas sejak tahun 1967.
Teori yang merupakan hasil dari kajian data, yang merumuskan keterkaitan fenomena yang dapat menjelaskan kondisi yang relevan di lapangan, dilakukan pengulangan sejak pada proses pengumpulan data sampai menghasilkan proposisi, hingga merasa jenuh (data baru tidak ditemukan). Dengan kata lain, adalah mengkonfirmasi, memperluas, dan mempertajam kerangka kerja teoritik, serta mengakhiri proses penelitian bilamana, peningkatan atau penambahan yang diperoleh tidak berarti.
Kualitas grounded theory sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang dilakukan secara baik, benar, dan disiplin. Proses yang benar akan menjamin ditemukannya teori yang benar pula. Dengan demikian, ada semacam koherensi antara input, proses, dan output. Disamping itu, seperti pada penelitian lainnya, pengujian ditentukan oleh validitas, reliabilitas, dan kredibilitas dari data, juga ditentukan oleh proses penelitian dimana teori dihasilkan, serta data empirisnya sebagai bagian integral dari penemuan atau teori yang dihasilkan.
C. Penutup
Grounded research merupakan salah satu bentuk penelitian
yang banyak membutuhkan keprofesionalan seorang ilmuan, terutama kejujuran.
Ketelitian dan kesabaran juga sebagai modal utamanya. Di sisi lain, praktisi-praktisi
dalam golongan ini, adalah komunitas ilmuan yang telah memahami substansi teori
secara mendalam, terutama grand theory. Merekalah yang mungkin
menghasilkan teori dengan baik, oleh karena mereka sangat memahami prosesnya.
Catatan :
[1] Ada berbagai perbedaan redaksional dalam menterjemahkan arti Grounded Theory. Moleong (2005) mengartikannya dengan istilah Teori Dari Bawah, Salim (2006) menyebutnya Teori Beralas, Muhadjir (2002) menterjemahkan dengan nama Teori Berdasar Data, dan hampir serupa, Bungin (2007) mengistilahkannya: Teori Berdasarkan Data. Oleh karena substansinya sama, maka penulis merujuk sesuai dengan nama aslinya dalam bahasa Inggris.
[2] Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 120
[3] Awalnya Glaser dan Strauss menggunakn sebutan hipotesis. Akan tetapi, istilah proposisi dianggap paling tepat, dan luas serta utuh cakupannya, sebab proposisi menunjukkan adanya hubungan konseptual, sedangkan hipotesis lebih menunjuk kepada hubungan yang terukur. Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hlm.184.
[4] Istilah “kepala kosong” menjelaskan bahwa peneliti menyingkirkan sikap, pandangan, keberpihakkan terhadap teori atau mazhab ilmu tertentu, yang dikhawatirkan menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori, dan sepenuhnya berpedoman kepada apa yang ditemukannya di lapangan. Peneliti memiliki desain atau perencanaan penelitian hingga tuntas, namun kesemuanya itu bersifat fleksibel, bahkan boleh jadi tidak dipakai sama sekali dalam proses penelitian.
[5] Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.72.
[6] Salim, Agus, Op.Cit., Hlm.185-186. Pendapat Glaser dan Strauss ini, kemudian di perluas lagi oleh Naresh R. Pandit (1996) menjadi sembilan fase/tahap.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan,
2007, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial lainnya, Jakarta:
Kencana.
Moleong, Lexy J.,
2005, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng,
2002, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Salim, Agus, 2006,
Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar