Penelitian
Kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan untuk
mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta,
kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni dan budaya, dan
lain-lain sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk dilaksankan demi
kesejahteraan bersama. Menurut Sugiono, ( 2007 : 238 ) “ Masalah dalam
penelitian kualitatif bersifat sementara, tentative dan akan berkembang atau
berganti setelah peneliti berada di lapangan”.
Metodelogi penelitian komunikasi yang digunakan dalam
menyelesaikan penelitian kualitatif
yakni Analisis Isi, Analisis Semiotik,
Analisis Wacana, Semiotik Framing dan Analisis Korelasional. Namun dalam
makalah ini hanya membahas Analisis Semiotik, Analisis Wacana, dan partisipatory
action research.
Analisis
Semiotik
Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda”
(sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya
dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya. Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa
dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang,
semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan,
paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa
yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa
alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya. Semiotika di bidang
komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek
penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan,
tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berkenaan
dengan hal tersebut, analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari
linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku
manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian
linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam
semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu,
pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada
masalah-masalah non linguistik.
Secara
singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau
metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang
yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimkasud
dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat
pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis
semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks yang berupa
lambang-lambang. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam
teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik.
Beberapa
Tokoh Yang Memberikan Kontribusi
a.
Charles
Sanders Pierce (1839-1914)
Charles
sanders pierce adalah seorang ahli matematika dari AS yang sangat tertarik pada
persoalan lambang-lambang. Ia melakukan kajian mengenai semiotika dari
perspektif logika dan filsafat dalam upaya melakukan sistematisasi terhadap
pengetahuan. Dalam hal ini, ia menggunakan istilah representamen yang tak lain adalah lambang (sign) dengan pengertian
sebagai something which stand to somebody
for something in some respect or capacity (sesuatu yang mewakilik sesuatu
bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas) (Matterlart dan Matterlart,
1998: 23). Dari pemaknaan ini dapat dilihat bahwa lambang mencakup keberadaan
yang luas, termasuk pahatan, gambar, tulisan, ucapan lisan, isarat bahasa
tubuh, musik, dan lukisan.
Cara
berfikir pierce pada dasarnya dipengaruhi aliran filsafat pragmatisme yang
cenderung bersifat empirisme radikal. Segala sesuatu adalah lambang, bahkan
alam raya sebenarnya adalah suatu lambang yang bukan main dahsyat sifatnya. Karena
jalan pikiran demikian maka banyak kalangan yang menilai bahwa pandangan pierce
tentang lambang kadangkala bersifat kabur, sulit dibedakan mana yang
benar-benar lambang dan mana yang bukan lambang. Hal ini membawa konsekuansi
kaburnya batas-batas semiotika sebagai suatu disiplin.
Pierce
mebedakan lambang menjadi tiga kategori pokok : ikon (icon), indeks (index),
simbol (symbol). Yang dimaksud ikon
disini adalah suatu lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh objek yang
dinamis karena sifat-sifat internal yang ada. Hal-hal seperti kemiripan,
kesesuaian, tiruan, dan kesan-kesan atau citra menjadi kata kunci untuk
memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang bersifat ikonik. Ikon
karena itu, dapat dilihat karena memang mirip. Lukisan foto Dr. Ir. Sukarno
Oleh Ratna Sari Dewi yang dapat memberikan kesan kecerdasan, keceriaan,
kegigihan, kesederhanaan, serta jiwa kepemimpinan seorang Sukarno, semuanya
adalah teks atau lambang-lambang ikonik yang membawa makna-makna tertentu.
Istilah
indeks menunjukan lambang yang cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh objek
dinamis dengan cara keterkaitan yang nyata dengannya. Proses pemaknaan
lambang-lambang bersifat indeks tidak dapat bersifat langsung, tetapi dengan
cara mamikirkan serta mengkaitkanya. Bebrapa hal dapat dicontohkan dalam hal
ini, misalnya ada isyarat asap yang dengan itu orang lalu memaknainya sebagai
apai ataupun kebakaran. Isarat maraknya aksi-aksi protes yang dengan itu orang
lalu manfsirkan ketidakpuasan terhadap pemerintah cenderung meluas.
Simbol
dalam konteks semiotika biasanya dipahami sebaggai suatu lambang yang
ditentukan oleh objek dinamisnya dalam arti ia harus benar-benar di
interpretasi. Dalam hal ini, interpretasi dalam upaya pemaknaan terhadap
lambang-lambang simbolik melibatkan unsur dari proses belajar dan tumbuh atau
berkembangnya pengalaman serta kesepakatan kesepakatan dalam masyarakat.
Misalnya kita harus belajar bicara, berlatih mengucapkan kata-kata untuk dapat
mengungkapkan perasaan serta keinginan-keinginan. Bendera disepakati sebagai
lambang bersifat simbolik dari suatu bangsa yang karenanya segenap warga
melakukan penghormatan terhadapnya. Kemarahan suatu bangsa terhadap bangsa lain
sering diekspresikan dengan pembakaran bendera bangsa lain, dan tindakan ini
bersifat simbolik yang dapat dimaknai justru sangat dalam oleh bangsa yang
benderanya dibakar tadi, yang kemudian juga dapat memancing kemarahan balik.
b.
Ferdinand
de Saussure (1857-1913)
Beliau
adalah seorang ahli ilmu bahasa dari Swiss. Saussure menyarankan bahwa studi
tentang bahasa selayaknya menjadi bagian dari area yang ia sebut dengan semiology yang ketika itu belum banyak
berkembang. Saussure mendasarkan pemikiran demikian pada keyakinan bahwa studi
tentang bahasa pada dasarnya adalah studi tentang sistem lambang-lambang.
Saussure
menggunakan istilah semiology dengan
makna ilmu yang mempelajari seluk-beluk lambang-lambang yang ada atau yang
digunakan masyarakat. Ia bermaksud memberikan pemaknaan pada perihal yang ikut
membentuk atau menentukan lambang-lambang, dan hukum-hukum atau adanya
ketentuan-ketentuan bagaimana yang mengaturnya. Sejak saat ini berkembanglah
pandangan bahwa semiotika atau semiologi tidak lain adalah ilmu tantang
lambang-lambang.
Suatu
hal yang menarik, bahwa terdapat dua istilah yang berbeda: semiotika dan semiologi.
Semiotika pada umumnya digunakan untuk menunjukan studi tentang lambang-lambang
secara luas baik dalam konteks kultural maupun natural, sementara semiologi
lebih tertuju pada lambang-lambang bahasa, terutama dalam konteks komunikasi
yang memliki tujuan-tujuan tertentu atua yang sering disebut intentional communication, yang
karenanya bersifat kultural (malone, 1996: 1152).
Saussure
mengelompokkan lambang menjadi dua jenis: signifier dan signified. Signifier
menunjukan pada aspek fisik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan,
sedangkan signified menunjukan pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran
bersifat asosiasif tentang lambang. Kedua jenis lambang ini saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan.
Saussure
mengajukan dua dalil berkenaan dengan sistem lambang, terutama dalam linguistik
(Malone, 1996: 1152), sebagai berikut: Pertama,
bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat ditentukan atau
dipelajari, pemberian makna terhadap
lambang merupakan hasil dari proses belajar. Hal ini mengingatkan kita pada
lambang jenis simbolik sebagaimana dimaksud Pierce. Kedua, bahwa signifier linguistik (misalnya kata-kata atau
ucapan-ucapan) dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal demikian berbeda dengan
signifier visual, yang relatif tidak berubah, seperti gambar-gambar dan
lukisan.
c.
Roland
Barthes
Roland
batrhes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukan
tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkat pertama yang
bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan
mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang
ditunjuk. Makna konotasi adalah maknaa-makna yang dapat diberikan pada
lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada
pada tingkatan kedua.
Yang
menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakannya istilah
mitos, yakni rujukan bersifat kultural (berasal dari budaya yang ada) yang
digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang,
penjelasan mana yang notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang
ada dengan mengacu sejarah.
Bagi
Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaanya
tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan signified, namun juga
harus dilakukan dengan memerhatikan susunan (construction) dan isi (content)
dari lambang. Pemaknaan terhadap lambang-lambang selayaknya dilakukan dengan
merekonstruksi lambang-lambang bersangkutan. Dalam upaya ini, deformasi rupanya
tak terelakkan: banyak hal di luar lambang harus dicari untuk dapat memberikan
makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang dinamakan mitos.
Beberapa Contoh Penelitian dengan
Analisis Semiotik
1)
Analisis
Semiotik untuk Film
Aditia
Sonyaruri Hapsari (2005), misalnya meneliti film biola tak berdawai produksi Kalyana Shira Film (bekerjasama dengan
Cinekom) tahun 2002. Disini hapsari menggunakan analisis semiotik Roland
Barthes untuk meneliti lambang-lambang yang terdapat dalam film tsb. Hapsari memperoleh
kesan ini sarat dengan pesan-pesan moral, terutama cinta-kasih dengan konteks
yang bervariasi, seperti cinta-kasih terhadap sesama, cinta-kasih antara dua
insan yang berbeda jenis kelamin, cinta-kasih dalam konteks ibu dan anak, serta
cinta-kasih terhadap seluruh makhluk ciptaan Tuhan berupa binatang dan
tumbuhan.
Kecintaan terhadap sesama manusia
ditunjukan dalam film ini, misalnya ketika tokoh-tokoh sentral Bhisma, Renjani,
dan Mbak Wid mau merawat Dewa dan anak-anak cacat lainnya di Panti Asuhan Ibu
Sejati dengan tulus penuh kasih kendari orang tua anak-anak bersangkutan telah
membuang mereka. Kemudian cinta-kasih dalam pengertian umum sebagaimana yang
lazim terjadi antara pria dan wanita ditunjukan dengan romantisme jalinan
hubungan asmara antara Bhisma dan Renjani. Cinta-kasih terhadap sesama makhluk
ciptaan Tuhan, misalnya, ditunjukan lewat adegan betapa Renjani berusaha
menangkap seekor kupu-kupu tanpa melukai atau menyakitinya.
Selain nilai cinta-kasih, film berdurasi 90
menit ini juga membawa pesan moral lain, yakni ketegaran dan kejujuran. Hal
demikian ditunjukan lewat tokoh Renjani yang walaupun sebenarnya ia seorang
perempuan korban pemerkosaan dan melakukan aborsi, tetap tegar menjalani hidup
dengan tindakan terpuji, yakni mendirikan panti asuhan yang menampung anak-anak
cacat yang dibuang oleh orang tuanya.
2)
Analisis
Semiotik untuk Tayangan Langsung Televisi
Dapat
diambil contoh dalam penelitian Ahmad Muhibbin (2005) yang meneliti paket acara
campursari Tambane Ati yang
ditayangkan oleh TVRI Jawa Timur setiap hari Minggu pukul 15.30-17.00 WIB. acara
ini sangat unik sebab menggabungkan berbagai unsur budaya tradisional, termasuk
pakaian, musik, tari, dialek. Disini, Muhibbin tampak banyak dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Fairclough (mengenai semiotika) serta Berger dan Luckman
(untuk teori konstritivisme).
Sebanyak
20 episode rekaman video diteliti oleh Muhibbin, dengan menitikberatkan pada
level teks, dan tidak meneliti persoalan discourse
practice, dan sociocultural practice mengacu
pandangan Fairclough. Namun demikian, Muhibbin merasa penting untuk melakukan
wawancara dengan beberapa pimpinan dan seniman musik campursari, termasuk para
penyanyi yang pernah tampil dalam acara tersebut di stasiun televisi untuk
“memperkaya informasi”, disamping studi literatur “untuk melihat bagaimana aspek
sosial budaya ikut memengaruhi wacana” (Muhibbin, 2005: 91).
Pendekatan
konstruktivisme digunakan dalam penelitian untuk melihat bagaimana pesan atau
tepatnya tanda-tanda mengkonstruksi tiga wacana penting: apresiasi budaya,
akulturasi budaya, dan elastisitas budaya Jawa. Dalam hal ini Muhibbin
memperoleh kesan bahwa acara ini mengkonstruksi wacana apresiasi budaya dengan
cara menyajikan beberapa elemen budaya daerah Jawa.tayangan ini juga mengapresiasi
busana tradisional yang selalu dikenakan oleh penyanyi, pemusik, dan bahkan
penonton.
Muhibbin
juga memperoleh kesan bahwa acara tsb mengkonstruksi wacana akulturasi melalui
beberapa elemen budaya menjadi satu paket acara, yang meliputi musik campursari,
senitari, lawak, dan budaya parikan. Musik-musik campursari merupakan paduan
dari beberapa jenis musik, baik dari segi instrumen, maupun aransemen. Berkenaan
dengan unsur tari, acara tersebut menampilkan berbagai variasi tari tradisional
yang diiringi dengan musik campursari.
Berkenaan
dengan wacana elastisitas budaya Jawa, Muhibbin memperoleh kesan bahwa paket
acara ini mengkontruksi hal tsb melalui beberapa hal, termasuk sifat gamelan
dan instrumen musik lainnya, keragaman instrumentasi dan vokabuler musik,
menyuguhkan realitas bahwa musik tradisional Jawa dapat menerima unsur musik
lain, serta realitas bahwa seni tari tradisional dapat dipadukan dengan seni
tari modern (Muhibbin, 2005: 192-193).
Analisis
Wacana (discourse analysis)
Pegertian Pokok dan Karakter
Secara
singkat analisis wacana adalah suatu cara atau metode untuk mengakji wacana
yang terdapat atau terkandung didalam pesan-pesan komunikasi baik secara
tekstual maupun kontekstual. Analisis wacana berkenaan dengan isi pesan
komunikasi, yang sebagian di antaranya nerupa teks, seperti naskah pidato,
transkrip sidang, artikel yang termuat disurat kabar, buku-buku dan iklan
kampanye pemilihan umum.
Analisis
wacana berkembang pesat, terutama seyelah dekade 1970-aan. Kendati demikian
analisis wacana telah tumbuh sejak awal abad ke 20, khususnya setelah Franz
Boas (seorang ahli linguistik dan antropologi budaya) menyarankan untuk adanya
penelitian yang lebih serius mengenai saling keterkaitan yang kompleks antara
bahasa dan kebudayaan. Kendati berkenaan dengan wacana, para antropolog
biasanya lebih mementingkan bahsa lisan dibanding dengan bahsa tulis. Istilah wacana
sebenarnya secara praktis berkenaan dengan kedua bentuk bahasa tadi yakni lisan
dan tulisan sekaligus.
Pada
umumnya disepakati pendefinisian wacana adalah proses sosiokultural sekaligus
juga proses linguistik. Dalam konteks komunikassi sekarang analisis wacana
tampaknya semakin diminati dan terkesan sebagai semacam titik temu antara
berbagai jenis disiplin. Analisis wacana memungkinkan diupayakanya jembatan
yang menghubungkan analisis mengenai bahsa yang bersifat mikro di satu sisi
dengan analisis dinamika yang bersifat makro disisi lain.
Secara
garis besar kita dapat menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam analisis
wacana (Matsuki, 1996: 351-352). Pertama,
pendekatn sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa
secara makro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau
bentuk-bentuk serta fungsi-funsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan
dalam teks. Pendekatan ini seringkali di kritik sebagai terkesan kurang
mementingkan proses-proses makrohistoris dari teks bersangkutan.
Kedua, pendekatan
sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial. Pendekatan ini lebih
menitikberatkan pada praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana
sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses
simbolik, seperti kekuasaan dan ideologi. Pendekatan ini lebih menempatkan
lambang-lambang dalam konteks situasional maupun historis secara lebih luas
sehingga lebih dekat dengan semiotika. Michael foucault seorang
poststrukturalis Prancis mengingatkan
adlam hubungan ini bahwa pengguliran wacana dibatasi dan bahkan
ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan pranata sosial yang kompleks
yang ada di masyarakat, dan bukan semata merupakan persoalan bahasa (Keiko
Matsuki, 1996: 351).
Selain
pembedaan ini, analisis wacana juga dapat dibedakan dengan cara lain, yakni
dengan melihat posisi peneliti dalam perspektif kritis. Bertolak dengan cara
demikian maka analisis wacana dalam kajian komunikasi dapat dibedakan menjadi
empat jenis : (a) wacana representasi (discourse
of representation), (b) wacana pemahaman atau wacana interpretif (discourse of understanding), (c) wacana
keragu-raguan (discourse of suspicion),
(d) wacana posmodernisme (discourse
posmodernism). Keempat jenis analisis wacana ini memiliki karakter
masing-masing yang dapat ditunjukan, seperti yang tampak pada tabel berikut
ini:
No
|
Jenis
|
Karakter
Umum dan Posisi Peneliti
|
Kritis
|
1
|
wacana
representasi
|
Bersifat
positivistik.
Peneliti
terpisah dari objek yang diteliti dan mempersepsi objek serta membuat
representasi realitas dalam bentuk pengungkapan bahasa.
|
Tidak
bersifat kritikal
|
2
|
wacana
pemahaman
|
Bersifat
interpretatif modernisme.
Antara
peneliti dengan objek (realitas yang diteliti) tidak terpisah. Realitas
didefinidikan oleh peneliti melalui interaksi antara yang mengetahui (subjek
peneliti/informan) dengan pengetahuan (terutama dari sumber-sumber literatur),
peneliti menstruktur observasi yang karena itu menstruktur apa yang
diketahui.
|
Tidak
bersifat kritikal
|
3
|
wacana
keragu-raguan
|
Bersifat
struktural dan kritikal modernisme.
Mengkonstruksi
realitas berdasarkan frame social arrangement.
|
Bersifat
kritikal
|
4
|
wacana
posmodernisme
|
Bersifat
poststruktural dengan menolak segala social arrangement.
|
Bersifat
kritikal
|
Dikemukakan
catatan penegasan disini bahwa analisis wacana memiliki dua nuansa pokok :
bersifat kritis dan bersifat bukan kritis. Disini, analisis wacana yang
bersifat kritis sangat dipengaruhi oleh teori kritikal. Karakter kualitatif
interpretif dengan sendirinya berlaku sebagai pijakan penting. Disamping itu,
juga mengambil titik tekan pada penekanan ideologi atau kekuatan-kekuatan
dominan dan meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Dengan kata lain, dalam
konteks penelitian komunikasi pendekatan kritikal secara umum dan analisis
wacana bersifat kritis secara khusus berusaha untuk melacak bagaimana
pesan-pesan komunikasi mengukuhkan penekanan, pengekangan, atau opresi di dalam
masyarakat.
Prinsip Dasar Analisis Wacana
Kalangan
peminat analisis wacana, terlepas dari perbedaan-perbedaan di dalam memaknai
istilah “wacana” serta fokus dari jenis wacana yang diteliti, pada umumnya
berkeyakinan bahwa:
a) Komunikasi
terdiri dari tindakan-tindakan kompleks yang kemudian membentuk pesan dimana
dikandung wacana atau wacana-wacana tertentu.
b) Menusai
terikat oleh ketentuan-ketentuan ketika menggunakan bahasa, membawa wacana,
atau melakukan tindakan.
c) Komunikator
menggunakan wacana untuk mencapai tujuan, dan cara yang ditempuh dalam
penggunaan wacana pada dasarnya terikat oleh ketentuan-ketentuan.
d) Kendati
bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan wujud nyata dari aktivitas
komuniasi, namun sebenarnya discourse-lah yang menjadi materi dari komunikasi.
Beberapa Tokoh dan Sumbangannya
1.
John
Power
Bagi
Powers, pesan merupakan hal yang bersifat sentral dalam komunikasi. Pesan
memiliki tiga unsur pokok yang bersifat struktural, yakni sebagai berikut:
·
Lambang atau simbol
sebenarnya relatif bersifat independen. Artinya, antara lambang dan realitas
yang dilambangkan sebenarnya tidak ada hubungan yang logis.
·
Bahasa
merupakan suatu kode yang bersifat formal. Artinya, kata-kata serta
kalimat-kalimat, dan tanda-tanda bahasa lain dikembangkan dan dimaknai sesuai
dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam masyarakat.
·
Wacana pada
umumnya memiliki struktur tertentu sebagai konsekuensi dari sifat saling
kait-mengkait antara unsur wacana yang satu dengan undur wacana lainnya.
2.
Scott
Jacobs
Scott
menyaraankan tiga jenis persoalan yang dapat dilacak dengan menggunakan
analisis wcana. Pertama, masalah
makna, yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana orang memahami pesan-pesan
atau informasi-informasi apa yang terkemas dalam suatu struktur pesan. Kalau
ditanyakan, apakah ada air panas, maka salah satu makna yang dapat kita berikan
terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa orang yang bersangkutan membutuhkan
air panas.
Kedua, masalah
tindakan, yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana cara yang digunakan oleh
seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan pesan-pesan yang disampaikan.
Seseorang yang kehausan dan membutuhkan minuman maka kemingkinan akan
mengatakan “aduh, saya haus,” sambil menunjukan kegelisahan.
Ketiga, koherensi,
yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana menyususn pola-pola perbincangan
yang mudah diterima dan logis, serta prinsip bagaimana yang dipakai dalam
menjalin suatu pernyataan dengan pernyataan lain. Seseorang yang kehausan tadi
setelah mengatakan “aduh, saya haus,” mungkin akan melepas kancing baju bagian
atas, mengipas-ngipas wajah, serta mengatakan, “apakah ada air dingin?”
Area Analisis Wacana
Ada
tiga bidang kajian yang telah membuat analisis wacana menjadi berkembang pesat,
terutama dalam antropologi yang kemundian berpengaruh kedisiplin ilmu
komunikasi, yakni sebagai berikut:
a)
Etnografi
komunikasi
Etnografi
komunikasi dirintis oleh Dell Hymes di awal dekade 1960-an. Ia lebih
memfokuskan studinya pada persoalan penggunaan bahasa serta fungsi-fungsinya
ketimbang pada struktur bahasa. Ia menyarankan seyogyanya para antropolog
meneliti relativisme linguistik tidak hanya mengenai struktur bahasa, tetapi
juga funsi-fungsinya dengan cara membandingkannya dengan budaya lain. Area ini
sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku
bagsa dan budaya. Penelitian etnografis kemunikasi dapat membantu meningkatkan
saling pegertian, kerukunan, dan kerjasama.
b)
Analisis
Percakapan
analisis
percakapan dirintis dalam tradisi sosiologi interaksional, terutama ethnomethodology yang dikembangkan oleh
Harold Garfikel di akhir dekade 1960-an. Dalam conversational analysis, wacana
atau percakapan dianggap sebagai produk dari proses interaksi. Suatu realitas
sosial tidak hadir secara objektif diluar pengaruh unsur-unsur sosial, tetapi
terkonstruksi melalui percakapan yang cenderung bersifat tatap muka diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses interaksi.
c)
Ethnopoetics
Analisis
yang sangat rinci terhadap persoalan-persoalan bahasa lebih dipentingkan dalam
ethnopoetics. Tradisi ini merupakan yang paling tu dalamanalisis wacana sejak
dirintis oleh Boas beserta para mahasiswanya. Akan tetapi, pada dasawarsa
1970-an Hymes dan Tedlock mengupyakan terobosan baru dengan meneliti struktur
dan fungsi dari keindahan bahasa yang digunakan masyarakat bukan barat. Kedua
tokoh ini mengembangkan tradisi analisis wacana berkenaan dengan bentuk wacana
terucap (oral discourse). Tradisi ini rupanya memberikan inspirasi untuk
berkembangnya penelitian mengenai berbagai bentuk karya seni yang menggunakan
bahasa lisan, termasuk drama, puisi, musik, khususnya lirik-lirik lagunya.
Titik
berat dari studi area ini adalah pesan-pesan verbal yang digunakan oleh
komunikator (penyair, pengarang, penulis, naskah/skenario) dengan melihat
penggunaan bahasa sebagai bentuk ekspresi yang memiliki struktur dan
fungsi-fungsi tertentu dalam mengungkapkan nilai-nilai keindahan serta
pandangan-pandangan filsafat dan moral.
Prosedur penelitian Analisis Wacana
Melakukan
penelitian dengan mengguakan analisis wacana dapat dilakukan dengan mengikuti
prosedur sebagai berikut:
1. Memilih
topik
2. Merumuskan
pertanyaan penelitian, dengan membawa implikasi pada area penelitian dengan
metode analisis wacana dan juga jenis penelitian dengan analisis wcana serta
pendekatan mana yang sesuai.
3. Melakukan
studi pustaka berkenaan dengan topik dan fokus yang dipilih sebagaimana
tersurat dalam pertanyaan penelitian. Studi pustaka akan meghasilkan penjelasan
tentang konsep-konsep dan simbol-simbol yang terdapat dalam teks yang sedang
diteliti serta pandangan-pandangan teoritik yang relevan dengan keduanya.
4. Menentukan
metode penelitian sesuai/konsisten dengan pertanyaan penelitian.
5. Mengumpulkan
data dan menganalisisnya dengan merujuk pandangan-pandangan teoritik yang
diperoleh dengan telaah pustaka.
6. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan mengacu pada pertanyaan penelitian. Kesimpulan
tidak lain adalah asil interaksi antara kesan peneliti terhadap
kecendrungan-kecendrungan yang ada pada data serta pilihan rujukan berupa
pandangan teoritis yang diambil yang kemudian membingkai analisis.
7. Penyusunan
laporan penelitian mungkin dapat diawali dengan laporan awal yang diseminarkan.
Contoh penelitian
Bagaimana
soekarno mengembangkan wacana tentang perampuan dalam buku yang ditulisnya
berjudul sarinah diteliti oleh Pawito
(2006). Penelitian ini mengambil titik tekan pada pertanyaan: (a) bagaimana
realitas tentang perempuan dilukiskan oleh soekarno?, (b) bagaimana bahasa yang
digunakan oleh soekarno dalam mengembangkan wacana tentang perempuan dan apa
fungsi dari bahasa bersangkutan?, (c) simbol-simbol apa (bagaiman) yang
digunakan oleh soekarno dalam mengembangkan wacana tentang perempuan?. Dalam
kaitan ini peneliti mengambil area analisis wacana, terutama etnografi komunikasi
dengan menggunakan pendekatan sosiokultural, yakni dengan menempatkan wacana
sebagai praktik sosial yang karenanya melihat wacana perempuan yang
dikembangkan oleg soekarno dalam sarinah ini sebagai tindakan manusia yang
senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperi kekuasaan dan
ideologi.
Peneliti
mendapatkan kenyataan, antara lain, bahwa malalui sarinah soekarno
mengembangkan wacana tetang perempuan ke dalam bingkai atau koteks yang
bervariasi, termasuk budaya masyarakat, kekuasaan, dan ideologi, serta
perjuangan bangsa Indonesia. Berkenaan dengan konteks budaya masyarakat,
soekarno melihat bahwa masyarakat Indonesia memperlakukan kaum perempuan
(1960-an) secara tidak adil, yakni cenderugn ditempatkan di belakang dan tidak
diberi peran. Soekarno juga mengamati bahwa kaum perempuan cenderung di
perlakukan seperti dewi tolol, yang senantiasa di pundi-pundi dan dijaga-jaga
seperti seorang dwi, namun juga di tolong-tolong seolah-olah kaum perempuan
tidak dapat berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri.
II.3 Partisipatory Action Research
Participatory Action Research
memiliki prinsip dasar yang harus dipahami terlebih dahulu, yakni antara lain
sebagai berikut:
1. PAR
harus diletekkan sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki praktek-praktek sosial
dengan cara merubahnya dan belajar dari akibat-akibat dari perubahan tersebut.
2. Secara
keseluruhan merupakan partisipasi yang murni (autentik) dimana akan membentuk
sebuah spiral yang berkesinambungan sejak dari perencanaan (planing), tindakan
(pelaksanaan atas rencana), observasi (evaluasi atas pelaksanaan rencana),
refleksi (teoritisi pengalaman).
3. PAR
merupakan kerjasama (kolaborasi), semua yang memiliki tanggungjawab atas
tindakan perubahan dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka.
4. PAR
merupakan suatu proses membangun pemahaman yang sistematis (systematic learning
process), merupakan proses penggunaan kecerdasan kritis saling mendiskusikan
tindakan mereka dan mengembangkannya, sehingga tindakan sosial mereka akan
dapat benar-benar berpengaruh terhadap perubahan sosial.
5. PAR
suatu proses yang melibatkan semua orang dalam teoritisasi atas
pengalaman-pengalaman mereka sendiri
Dari kesemua prinsip-prinsip PAR yang ada,
yang terpenting adalah dalam PAR tidak mengharuskan membuat dan mengelola
catatan rekaman yang menjelaskan apa yang sedang terjadi se-akurat mungkin,
akan tetapi merupakan analisa kritis terhadap situasi yang secara kelembagaan
diciptakan (seperti melalui proyek-proyek, program-program tertentu atau
sistem. Salah satu prinsip dalam PAR yang paling unique adalah menjadikan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri sebagai sasaran pengkajian (objectifying
their own experience).
Pada dasarnya Participation Action Research
(PAR) adalah penelitian yang melibatkan semua pihak yang relevan dalam meneliti
secara aktif bersama-sama tindakan saat ini ( yang mereka alami sebagai
bermasalah ) dalam rangka untuk mengubah dan memperbaikinya.
Mereka
melakukan hal ini dengan merenungkan secara kritis historis, politik, budaya,
ekonomi, geografis dan konteks lainnya yang dapat di pahami. Participatory
action research tidak hanya melitian apa yang diharapkan akan diikuti oleh
suatu tindakan. Hal ini adalah tindakan yang harus diteliti, diubah dan
kemudian diteliti kembali, dalam proses penelitian di lakukan oleh para
peserta.
Hal
ini juga bukan hanya sekadar varian dari konsultasi eksotis. Sebaliknya,
bertujuan untuk menjadi aktif dengan adanya penelitian oleh dan untuk
orang-orang yang akan membantu. Ini juga tidak dapat digunakan oleh sekelompok
orang untuk mendapatkan sekelompok orang lain untuk melakukan apa yang pikiran
terbaik untuk mereka , apakah itu adalah untuk menerapkan kebijakan pusat atau
suatu organisasi atau perubahan layanan. Sebaliknya adalah mencoba untuk
menjadi orang yang benar-benar demokratis atau non-koersif proses di mana
orang-orang yang akan membantu, menentukan tujuan dan hasil penyelidikan mereka
sendiri. Wadsworth,
Y. (1998) Apa Itu Participation Action Research?
Asal
muasal action research tidak jelas dalam suatu literatur. Pengarang
seperti Kemmis dan Mc Taggert (1988), Zuber-Skerrit (1992), Holer dan
Schwartz-Barcott (1993) menyatakan bahwa action research berasal dari
Kurt Lewin, seorang psikolog Amerika. McKernan (1988 seperti disitasi dalam
MecKernan 1991) menyatakan bahwa action research sebagai sebuah method
of inquiry telah berkembang pada abad lalu dan studi literatur
memperlihatkan “dengan jelas dan meyakinkan bahwa action research
berakar pada derivatif dari metode ilmiah” yang berhulu kepada gerakan ilmu
pendidian pada akhir abad 19.” (McKernan 1991:8).
McKernan
(1991) juga menyatakan bahwa ada bukti bahwa dimana penggunaan action
research oleh sejumlah reformis sosial sebelum lewin, seperti Collier
tahun 1945, Lippitt and Radke tahun 1946 dan Corey tahun 1953. Mc Taggert
(1992) mensitasi karya Gstettner and Alltricher menggunakan group
participation pada tahun 1913 pada sebuah inisiatif pengembangan komunitas
prostitusi di Vienna. Freideres (1992) memasukan konsep participation
research yang muncul tahun 1970 dari pengembangan lebih lanjut dari
pengalaman negara berpenghasilan rendah.
Meskipun
masih berkabut asal mula action research, Kurt Lewin pada tahun
1940-an membuat teori action research, yang menjelaskan action
research sebagai proceeding in a spiral steps, each of which
is composed of planning, actions, and the evaluation of the result of
action (Kemmis and Mc Taggert 1990). Lewin berargumentasi bahwa dalam
rangka memahami dan merubah paksis-praksis sosial tertentu, ilmuwan sosial
harus memasukkan prakatisioner dari dunia sosial nyata dalam semua fase
penyelidikan (McKernan 1991). Konstruksi dari teori action research
oleh Lewin ini membuat action research menjadi sebuah metode
penyelidikan yang dapat diterima (McKernan 1991).
Pengertian Participation Action
Research (PAR)
Participation
Action Research (PAR) adalah suatu cara membangun jembatan untuk
menghubungkan orang. Jenis penelitian ini adalah suatu proses pencarian
pengembangan pengetahuan praktis dalam memahami kondisi sosial, politik,
lingkungan, atau ekonomi. PAR(Participation Action Research) adalah
suatu metoda penelitian dan pengembangan secara partisipasi yang mengakui
hubungan sosial dan nilai realitas pengalaman, pikiran dan perasaan kita.
Penelitian ini mencari sesuatu untuk menghubungkan proses penelitian ke dalam
proses perubahan sosial. Penelitian ini mengakui bahwa poses perubahan adalah
sebuah topik yang dapat diteliti. Penelitiain ini membawa proses penelitian
dalam lingkaran kepentingan orang dan menemukan solusi praktis bagi masalah bersama
dan isu-isu yang memerlukan aksi dan refleksi bersama, dan memberikan
kontribusi bagi teori praktis.
PAR(Participation
Action Research) melibatkan pelaksanaan penelitian untuk mendefinisikan
sebuah masalah maupun menerapkan informasi ke dalam aksi sebagai solusi atas
masalah yang telah terdefinisi. PAR(Participation Action Research)
adalah “penelitian oleh, dengan, dan untuk orang” bukan “penelitian
terhadap orang”. PAR(Participation Action Research) adalah
partisipatif dalam arti bahwa ia sebuah kondisi yang diperlukan dimana orang
memainkan peran kunci di dalamnya dan memiliki informasi yang relevan tentang
sistem sosial (komunias) yang tengah berada di bawah pengkajian, dan bahwa
mereka berpartisipasi dalam rancangan dan implementasi rencana aksi itu
didasarkan pada hasil penelitian. PAR(Participation Action Research)
dikenal dengan banyak nama, termasuk partisipation research, action
research, collaborative inquiry, collaborative action research, emancipatory
research, action learning, contextual action research; semuanya itu
hanyalah variasi dalam tema yang sama.
PAR(Participation
Action Research) adalah ’seni’
membangun jembatan mencapai pemahaman yang saling menguntungkan, menghubungkan
orang, gagasan, dan sumber, membangun hubungan melalui itu kita dapat
menciptakan landasan yang kokoh antara perorangan dan komunitas, bekerja menuju
solusi yang saling menguntungkan atas masalah bersama, dan belajar bagaimana
untuk maju menyongsong masa dengan tana harus membuat ‘roda’, sambil melewati bermunculannya kembali kendala, secara
esensial meraih suatu tingkat kesadaran yang tinggi dari mana kita menjadi
berdaya untuk memcahkan masalah-masalah.
PAR(Participation
Action Research) adalah sebuah dual shift yaitu sebuah pergeseran
dalam paradigma penelitian kita maupun sebuah pergeseran dalam cara-cara kita
mengejar pembangunan.
Paradigma
pertama, PAR(Participation Action Research) merubah cara berpikir kita
tentang penelitian dengan menjadikan penelitian sebuah proses partisipasi. PAR(Participation
Action Research) itu sendiri adalah sebuah kondisi yang diperlukan dimana
orang memainkan peranan kunci di dalamya dan memiliki informasi yang relevan
tentang sistem sosial atau komunitas, yang tengah berada di bawah studi. ‘Subjek’ penelitian lebih baik untuk dirujuk
atau menjadi rujukan sebagai anggota-angota komnitas, dan mereka berpartisipasi
dalam rancangan, implementasi, dan eksekusi penelitian. PAR(Participation
Action Research) juga adalah sebuah pergeseran dalam pengertian bahwa ke
dalamnya termasuk elemen aksi. PAR(Participation Action Research)
melibatkan pelaksanaan penelitian untuk mendefinisikan sebuah masalah maupun
penerapan informasi dengan mengambil aksi untuk menuju solusi atas
masalah-masalah yang terdefinisikan. Anggota-anggota komunitas berpartisipasi
dalam rancangan dan implementasi dalam rencana tindak strategis didasarkan pada
hasil penelitian.
Paradigma
kedua, PAR(Participation Action Research) adalah proses dengan mana
komunitas-komunitas berusaha mempelajari masalah secara ilmiah dalam rangka
memandu, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan dan aksi mereka. Cara-cara
penelitian yang selama ini biasa dilakukan kalangan akademisi dan peneliti
dalam komunitas kita, justru dapat menjadi tantangan dan ancaman bagi sebuah
komunitas. Hubungan antara penelitian ilmiah (intellectual research)
dapat menjadi intrusive dan exclusive. Kedua tipe penelitian
ini juga dapat melenyapkan bagian-bagian penting dan vital dari sebuah proyek
penelitian yakni pengalaman hidup nyata, mimpi, pikiran, kebutuhan, kemauan
dari anggota komunitas. PAR(Participation Action Research) menawarkan
metoda-metoda untuk merubah hakekat hubungan antara orang, dengan organisasi
yang biasanya dikejar proyek penelitian dan pengembangan. Hubungan ini termasuk
bagaimana kita memahami peran kita sebagai facilitators, bukan sebagai
experts, bagaimana kita mengelola hubungan dengan lembaga pendidikan
dan lembaga bisnis, dan bagaimana kita bekerja satu sama lain sebagai siswa,
guru, tetangga, dan anggota komunitas.
Dalam
PAR terdapat tiga features, yakni participation, action, research.
1. Participation
mengambil bentuk inquirer decision-making yang menggunakan ‘the
principle of equity’ (dipahami sebagai co-existence and self
determination) untuk membawa divergent contextual factors dan divergent
interpretations dari metodologi ke dalam tugas menggeneralisasi data (subscribing
to the ‘relativist’ characteristic of the paradigm).
2. Action
adalah direct experience dari partisipan dengan isu
sebagaimana dipresentasikan dalam setiap kehidupan sehari-hari, dan bagaimana participatory
action research methods dapat melibatkan secara langsung partisipan dengan
dunia mereka.
3. Research
adalah process and form menghasilkan pengetahuan dalam
empat domain pengetahuan: experiental, presentational, propositional,
practical (John Heron 1996), dan sebagaimana diarahkan oleh partisipan
untuk pelananan terbaik bagi kepentingan masyarakat. Pengetahuan
dikembangkan melalui dialog reflektif dan analisis kritis yang dilakukan oleh
partisipan yang terlibat dalam aksi (subscribing to the hetrmeneutic and
dialog characteristic of the paradigm).
Contoh
Definisi
Beberapa contoh definisi yang pernah
dirumuskan :
Ø Kurt
Lewin, (1947)
Pencetus terminologi “Action Research” AR adalah proses spiral
yang meliputi ;
§
perencanaan tindakan yang melibatkan
investigasi yang cermat ;
§
pelaksanaan tindakan ;
§
penemuan fakta-fakta tentang hasil dari
tindakan ; dan
§
penemuan makna baru dari pengalaman
sosial.
Ø
Corey, (1953)
Action Research adalah proses
dimana kelompok sosial berusaha melakukan studi masalah mereka secara ilmiyah
dalam rangka mengarahkan, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan dan tindakan
mereka.
Ø Hopkins,
(1985)
Dimaksudkan untuk
mengkontribusikan baik pada masalah praktis pemecahan masalah maupun pada
tujuan ilmu sosial itu sendiri dengan mengkolaborasikan didalamnya yang dapat
diterima oleh kerangka kerja etik.
Ø Peter
Park, (1993)
Para penguatan rakyat melalui
penyadaran diri untuk melakukan tindakan yang efektif menuju perbaikan kondisi
kehidupan mereka.
Tipe-Tipe
Participation Action Research.
Grundy
(1988) mendiskusikan tiga mode PAR (Participation Action Research); technical,
practical, emancipatory. Holter and Schwartz-Barcott (1993) juga
mendiskusikan tiga tipe PAR(Participation Action Research), yakni: technical
collaborative approach, mutual collabroative approach, enhancement approach. McKernan
(1991) juga mendaftarkan tiga tipe action research: scientific-technical
view of problem solving; practical-deliberative action research;
critical-emancipatory action research. McCutcheon and Jurg (1990)
mendiskusikan tiga perspektif tentang PAR: positivist perspective,
interpretivist perspective, critical cscience perspective.
Metode dan Alat
Kerja Participation Action Research.
Secara umum, metode PAR(Participation action Research) terbagi dalam dua tipe, yakni
Eksplanatif dan Tematik. PAR(Participation
action Research) Eksplanatif memfasilitasi komunitas/masyarakat untuk
menganalisis kebutuhan, permasalahan, dan solusinya, kemudian merencanakan aksi
transformatif. Sedangkan PAR(Participation
action Research) Tematik menganalisis program yang sudah berjalan, sebagai
alat evaluasi dan pengamatan (monitoring).
Memanfaatkan
kekayaan riset-riset konvensional yang masih terus berkembang, RAP melengkapi
diri dengan banyak metode dan alat kerja. Untuk mengumpulkan data lapangan dan
menganalisisnya, PAR(Participation action
Research) memiliki metode pemetaan lokasi melalui kegiatan kunjungan
lapangan (transect), wawancara mendalam (in-depth interview)
dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD).
Dalam
FGD misalnya, partisipan atau informan tidak sebatas berdiskusi dalam posisi
duduk, melainkan bisa berdiskusi dalam dinamika tertentu dengan menggunakan
alat kerja tertentu, misalnya pemetaan gagasan (mind mapping),
menggambar diagram pohon masalah (problem tree), menulis peringkat
kualitas (ranking), menggambar diagram keterkaitan (linkage
diagram), hingga bermain peran (role play) kemudian mendialogkan
peran masing-masing dalam konteks situasi yang dimaksud.
Dalam
dinamika tersebut, anggota komunitas sebagai partisipan PAR(Participation action Research) berpeluang lebih besar
mengungkapkan pengalaman, gagasan, dan refleksi mereka secara lebih terbuka
karena terbantu dengan sejumlah alat kerja yang memudahkan pengamatan (visual)
dan kegiatan yang dinamis/tidak kaku. Dinamika tersebut juga memudahkan
fasilitator untuk mendorong sebanyak mungkin anggota komunitas berpartisipasi
lebih aktif karena menggunakan kegiatan dan alat kerja yang bisa dipilih atas
dasar kesesuaiannya dengan latar belakang budaya, pendidikan, dan pekerjaan
partisipan/informan.
Rancangan
dan Metoda Penelitian.
PAR(Participation action Research) secara
teoritis menggambarkan semua metoda penelitian ilmu sosial yang pernah ada.
Karena PAR(Participation action Research)
memiliki premis prinsip-prinsip bahwa orang dengan sebuah masalah melakukan
investigasi mereka sendiri, sehingga mengesampingkan teknik-teknik yang
membutuhkan pemisahan antara penelitian dengan yang diteliti, seperti ketika experimental
“subjects” dikesampingkan sebagai kegunaan penelitian. Metoda PAR berada
di balik teknik dan sumber material dari orang yang terlibat. Field
observation, penelitian pustaka dan arsip, investigasi sejarah menggunakan
dokumen dan sejarah pibadi, narratives and story telling, maupun questionnaires
dan wawancara, semuanya digunakan dalam PAR(Participation
action Research).
Sekali
pertanyaan penelitian diformulasikan, peneliti menyajikan opsi-opsi metodologis
bagi kelompok dengan mempertimbangkan orang-orang yang ada dan sumber
material dari komunitas, dan menjelaskan logika mereka, efikasi, dan batasan.
Aspek PAR ini mengekspose metodologi penelitian dan menempatkannya pada
tangan orang per orang sehingga mereka dapat menggunakannya sebagai sebuah alat
pemberdayaan. Tujuan dari PAR(Participation
action Research) adalah agar peneliti menggerakkan proses dengan berbagi
pengetahuan dan ketrampilan warga kelompok.
Komunikasi
adalah sebuah metodologi kunci dalam PAR(Participation
action Research). Ia menggambarkan kombinasi komunikasi secara kreatif
seperti tulisan, lisan, dan visual dalam rancangan, implementasi dan
dokumentasi penelitian. Pekerja sosial masyarakat misalnya, kalangan perempuan
pedesaan, dan kesadaran meningkatkan kelompok menggunakan foto dokumentasi
seseorang dalam kehiduoan sehari-hari (photo novella) untuk mencatat
dan merefleksikan kebutuhan mereka, mempromosikan dialog, mendorong aksi, dan
menginformasikan kebijakan. Peneliti menggunakan teater dan imajinasi visual
untuk menfasilitasi collective learning, expression, action. Bentuk
lain dari komunikasi populer digunakan bersama-sama dalam menulis lagu, membuat
kartun, pertemuan komunitas, community self-portraits dan rekaman videotape.
Pengembangan
pengetahuan secara kritis mengundang pencampuran kreatif dari metoda
tradisional melalui pertanyaan dan pendekatan. Pengunaan metoda komunikasi
alternatif dalam PAR(Participation action
Research) mendorong peneliti untuk menguji kembali metoda konvensional dan
membuka kemungkinan menggunakan metoda-metoda yang selama ini tidak pernah
mendapatkan legitimasi secara ilmiah.
Pengertian
Participation Action Research Secara Terpisah.
Pengidentifikasi beberapa karakteristik utama PAR(Participation action Research), dan untuk mencoba juga menunjukkan mengapa terdapat dua kesimpulan berikut:
·
PAR(Participation
action Research) adalah deskripsi penelitian sosial (meskipun penelitian
sosial yang lebih benar akan asumsi-asumsi yang mendasarinya, dan kolektivis
alam, tindakannya mengatur konsekuensi dan nilai-nilai).
·
berbagai hambatan terhadap praktek, yang
bahkan ketika kita berpikir kita mungkin bisa melakukan itu, kita sering
memiliki keraguan. Disini disimpulkan
bahwa hampir semua riset kita akan terlibat didalamnya, kurang lebih suatu
pendekatan ke arah PAR(Participation
action Research). Artinya, setiap bagian dari penelitian kurang lebih
berpartisi. Dan memungkinkan tindakan sebagai bagian dari proses. Dan itu semua
melibatkan refleksif kritis, skeptis dan imajinatif penyelidikan.
Ditemukan untuk meringkas ciri
utamanya di bawah tiga judul yang membentuk nama, yaitu: participation, action
dan research. Dimulai dengan menguraikan karakteristik Pendefinisian PAR(Participation action Research) sebagai
penelitian dalam jenis pengalaman sehari-hari dalam hidup kita. Dalam contoh
yang paling kecil dapat ditemukan struktur yang sama atau logika penyelidikan
sebagai yang paling luas dalam jangka panjang _ program penelitian universitas.
PENUTUP
Kesimpulan
Analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari
linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku
manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian
linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam
semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu,
pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada
masalah-masalah non linguistik.
Secara
singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau
metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang
yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimkasud
dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat
pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis
semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks yang berupa
lambang-lambang. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam
teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik.
Pada dasarnya PAR(Participation action Research) yang
banyak dipopulerkan oleh pemikiran-pemikiran kritis seperti halnya Paulo
Freire, Antonio Gramsci dan para pemikir kritis mazhab kritis Frankfurt adalah
upaya keluar dari kebuntuan mainstream analisis sosial dan riset yang mekanis
dan positivistik. Prinsip pokok yang ingin diangkat dalam riset ini adalah
meletakan keterlibatan subjek masyarakat sebagai bagian penting dalam analisis
sosial. Orientasi riset diarahkan untuk melakukan usulan-usulan perubahan dalam
nilai proses yang dialektikal yakni dikembangkan dalam spirit “ participation – action – research ”.
Dalam
proses riset ini tidak ada kesimpulan akhir, karena menyadari bahwa kondisi
objektif masyarakat akan selalu berkembang, berubah dan berdinamika dengan
seluruh keterkaitan perubahan-perubahan kondisi objektif yang ada. Menjadi
jelas bahwa PAR(Participation action
Research) memang tidak diorientasikan untuk melakukan kesimpulan atas
hipotesa kita tentang masyarakat, melainkan menjadi “alat dan senjata analisis” untuk mendorong berbagai perubahan
sosial. Ada tiga pilar penting untuk membaca secara utuh dimensin riset aksi
ini, yakni : metodologi riset, dimensi aksi dan dimensi partisipatoris. Tiga
pilar itu lebih jelasnya akan mengatakan bahwa PAR(Participation action Research) dikerjakan dengan memacu pada
paradigma dan metodologi riset tertentu, harus diorientasikan untuk melakukan
aksi perubahan dan transformasi sosial, dan dalam praktiknya riset ini harus
melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses riset sosial.
PAR(Participation
action Research) secara sadar mengakui bahwa riset ini mempunyai kerangka
dasar perspektif yang lebih kritis dibandingkan dengan pola-pola riset
“konvensional” yang masih menjadi mainstream penelitian saat ini. Paradigma
kritis tentu saja mendorong lahirnya sebuah riset sebagai cara membangun
emansipasi. Riset ini secara sadar mengakui adanya usaha wajib untuk
keterlibatan penuh antara subjek peneliti dan subjek komunitas (rakyat).
Persentuhan dan keterlibatan peneliti dalam masyarakat bukan hanya dalam hal
kedekatan jarak secara fisik melainkan subjek peneliti menjadi bagian utuh dari
proses hidup komunitas. Riset Aksi Partisipatpris dilaksanakan secara
partisipatoris di antara masyarakat dalam sebuah komunitas atau lingkup sosial
yang lebih luas untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif. Konsep
transformasi yang ditawarkan minimal membawa pesan :
§
pertama, membawa orang-orang yang
terisolasi kedalam masalah dan kebutuhan bersama;
§
kedua, melakukan berbagai dialog dan
validasi pengalaman untuk proses pemahaman dan refleksi kritis;
§
ketiga, menyajikan pengetahuan dan
pengalaman peneliti sebagai informasi tambahan bagi upaya refleksi secara
kritis;
§
keempat,
mengkontekstualisasikan apa yang selama ini dirasakan setiap pribadi;
§
kelima, menghubugkan pengalaman pribadi
dengan kenyataan-kenyataan sosial di sekitarnya
DAFTAR PUSTAKA
http://roelcup.wordpress.com/2010/03/22/participation-action-riset/#more-157
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta.
LkiS
diakses
pada tanggal 24 Desember 2010, jam 19.15
diakses
pada tanggal 24 Desemser 2010, jam 19.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar