01 Agustus 2017

“Analisis Semiotik, Analisis Wacana, dan Partisipatory action research”

 Penelitian Kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni dan budaya, dan lain-lain sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk dilaksankan demi kesejahteraan bersama. Menurut Sugiono, ( 2007 : 238 ) “ Masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentative dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan”.

Metodelogi  penelitian komunikasi yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian kualitatif  yakni Analisis Isi, Analisis Semiotik,  Analisis Wacana, Semiotik Framing dan Analisis Korelasional. Namun dalam makalah ini hanya membahas Analisis Semiotik, Analisis Wacana, dan partisipatory action research.

Analisis Semiotik
     Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya. Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berkenaan dengan hal tersebut, analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik.
Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimkasud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks yang berupa lambang-lambang. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik. 

Beberapa Tokoh Yang Memberikan Kontribusi

a.    Charles Sanders Pierce (1839-1914)
Charles sanders pierce adalah seorang ahli matematika dari AS yang sangat tertarik pada persoalan lambang-lambang. Ia melakukan kajian mengenai semiotika dari perspektif logika dan filsafat dalam upaya melakukan sistematisasi terhadap pengetahuan. Dalam hal ini, ia menggunakan istilah representamen yang tak lain adalah lambang (sign) dengan pengertian sebagai something which stand to somebody for something in some respect or capacity (sesuatu yang mewakilik sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas) (Matterlart dan Matterlart, 1998: 23). Dari pemaknaan ini dapat dilihat bahwa lambang mencakup keberadaan yang luas, termasuk pahatan, gambar, tulisan, ucapan lisan, isarat bahasa tubuh, musik, dan lukisan.
Cara berfikir pierce pada dasarnya dipengaruhi aliran filsafat pragmatisme yang cenderung bersifat empirisme radikal. Segala sesuatu adalah lambang, bahkan alam raya sebenarnya adalah suatu lambang yang bukan main dahsyat sifatnya. Karena jalan pikiran demikian maka banyak kalangan yang menilai bahwa pandangan pierce tentang lambang kadangkala bersifat kabur, sulit dibedakan mana yang benar-benar lambang dan mana yang bukan lambang. Hal ini membawa konsekuansi kaburnya batas-batas semiotika sebagai suatu disiplin.
Pierce mebedakan lambang menjadi tiga kategori pokok : ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol). Yang dimaksud ikon disini adalah suatu lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh objek yang dinamis karena sifat-sifat internal yang ada. Hal-hal seperti kemiripan, kesesuaian, tiruan, dan kesan-kesan atau citra menjadi kata kunci untuk memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang bersifat ikonik. Ikon karena itu, dapat dilihat karena memang mirip. Lukisan foto Dr. Ir. Sukarno Oleh Ratna Sari Dewi yang dapat memberikan kesan kecerdasan, keceriaan, kegigihan, kesederhanaan, serta jiwa kepemimpinan seorang Sukarno, semuanya adalah teks atau lambang-lambang ikonik yang membawa makna-makna tertentu.
Istilah indeks menunjukan lambang yang cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh objek dinamis dengan cara keterkaitan yang nyata dengannya. Proses pemaknaan lambang-lambang bersifat indeks tidak dapat bersifat langsung, tetapi dengan cara mamikirkan serta mengkaitkanya. Bebrapa hal dapat dicontohkan dalam hal ini, misalnya ada isyarat asap yang dengan itu orang lalu memaknainya sebagai apai ataupun kebakaran. Isarat maraknya aksi-aksi protes yang dengan itu orang lalu manfsirkan ketidakpuasan terhadap pemerintah cenderung meluas.
Simbol dalam konteks semiotika biasanya dipahami sebaggai suatu lambang yang ditentukan oleh objek dinamisnya dalam arti ia harus benar-benar di interpretasi. Dalam hal ini, interpretasi dalam upaya pemaknaan terhadap lambang-lambang simbolik melibatkan unsur dari proses belajar dan tumbuh atau berkembangnya pengalaman serta kesepakatan kesepakatan dalam masyarakat. Misalnya kita harus belajar bicara, berlatih mengucapkan kata-kata untuk dapat mengungkapkan perasaan serta keinginan-keinginan. Bendera disepakati sebagai lambang bersifat simbolik dari suatu bangsa yang karenanya segenap warga melakukan penghormatan terhadapnya. Kemarahan suatu bangsa terhadap bangsa lain sering diekspresikan dengan pembakaran bendera bangsa lain, dan tindakan ini bersifat simbolik yang dapat dimaknai justru sangat dalam oleh bangsa yang benderanya dibakar tadi, yang kemudian juga dapat memancing kemarahan balik.
   
b.   Ferdinand de Saussure (1857-1913)
Beliau adalah seorang ahli ilmu bahasa dari Swiss. Saussure menyarankan bahwa studi tentang bahasa selayaknya menjadi bagian dari area yang ia sebut dengan semiology yang ketika itu belum banyak berkembang. Saussure mendasarkan pemikiran demikian pada keyakinan bahwa studi tentang bahasa pada dasarnya adalah studi tentang sistem lambang-lambang.
Saussure menggunakan istilah semiology dengan makna ilmu yang mempelajari seluk-beluk lambang-lambang yang ada atau yang digunakan masyarakat. Ia bermaksud memberikan pemaknaan pada perihal yang ikut membentuk atau menentukan lambang-lambang, dan hukum-hukum atau adanya ketentuan-ketentuan bagaimana yang mengaturnya. Sejak saat ini berkembanglah pandangan bahwa semiotika atau semiologi tidak lain adalah ilmu tantang lambang-lambang.
Suatu hal yang menarik, bahwa terdapat dua istilah yang berbeda: semiotika dan semiologi. Semiotika pada umumnya digunakan untuk menunjukan studi tentang lambang-lambang secara luas baik dalam konteks kultural maupun natural, sementara semiologi lebih tertuju pada lambang-lambang bahasa, terutama dalam konteks komunikasi yang memliki tujuan-tujuan tertentu atua yang sering disebut intentional communication, yang karenanya bersifat kultural (malone, 1996: 1152).
Saussure mengelompokkan lambang menjadi dua jenis: signifier dan signified. Signifier menunjukan pada aspek fisik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan, sedangkan signified menunjukan pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiasif tentang lambang. Kedua jenis lambang ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Saussure mengajukan dua dalil berkenaan dengan sistem lambang, terutama dalam linguistik (Malone, 1996: 1152), sebagai berikut: Pertama, bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat ditentukan atau dipelajari,  pemberian makna terhadap lambang merupakan hasil dari proses belajar. Hal ini mengingatkan kita pada lambang jenis simbolik sebagaimana dimaksud Pierce. Kedua, bahwa signifier linguistik (misalnya kata-kata atau ucapan-ucapan) dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal demikian berbeda dengan signifier visual, yang relatif tidak berubah, seperti gambar-gambar dan lukisan.

c.    Roland Barthes
Roland batrhes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukan tingkatan-tingkatan makna. Makna denotasi adalah makna tingkat pertama yang bersifat objektif yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Makna konotasi adalah maknaa-makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada tingkatan kedua.
Yang menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakannya istilah mitos, yakni rujukan bersifat kultural (berasal dari budaya yang ada) yang digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang, penjelasan mana yang notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang ada dengan mengacu sejarah.
Bagi Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang pemaknaanya tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan signified, namun juga harus dilakukan dengan memerhatikan susunan (construction) dan isi (content) dari lambang. Pemaknaan terhadap lambang-lambang selayaknya dilakukan dengan merekonstruksi lambang-lambang bersangkutan. Dalam upaya ini, deformasi rupanya tak terelakkan: banyak hal di luar lambang harus dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang dinamakan mitos.

Beberapa Contoh Penelitian dengan Analisis Semiotik
1)   Analisis Semiotik untuk Film
Aditia Sonyaruri Hapsari (2005), misalnya meneliti film biola tak berdawai produksi Kalyana Shira Film (bekerjasama dengan Cinekom) tahun 2002. Disini hapsari menggunakan analisis semiotik Roland Barthes untuk meneliti lambang-lambang yang terdapat dalam film tsb. Hapsari memperoleh kesan ini sarat dengan pesan-pesan moral, terutama cinta-kasih dengan konteks yang bervariasi, seperti cinta-kasih terhadap sesama, cinta-kasih antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, cinta-kasih dalam konteks ibu dan anak, serta cinta-kasih terhadap seluruh makhluk ciptaan Tuhan berupa binatang dan tumbuhan.
     Kecintaan terhadap sesama manusia ditunjukan dalam film ini, misalnya ketika tokoh-tokoh sentral Bhisma, Renjani, dan Mbak Wid mau merawat Dewa dan anak-anak cacat lainnya di Panti Asuhan Ibu Sejati dengan tulus penuh kasih kendari orang tua anak-anak bersangkutan telah membuang mereka. Kemudian cinta-kasih dalam pengertian umum sebagaimana yang lazim terjadi antara pria dan wanita ditunjukan dengan romantisme jalinan hubungan asmara antara Bhisma dan Renjani. Cinta-kasih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan, misalnya, ditunjukan lewat adegan betapa Renjani berusaha menangkap seekor kupu-kupu tanpa melukai atau menyakitinya.
     Selain nilai cinta-kasih, film berdurasi 90 menit ini juga membawa pesan moral lain, yakni ketegaran dan kejujuran. Hal demikian ditunjukan lewat tokoh Renjani yang walaupun sebenarnya ia seorang perempuan korban pemerkosaan dan melakukan aborsi, tetap tegar menjalani hidup dengan tindakan terpuji, yakni mendirikan panti asuhan yang menampung anak-anak cacat yang dibuang oleh orang tuanya.

2)   Analisis Semiotik untuk Tayangan Langsung Televisi
Dapat diambil contoh dalam penelitian Ahmad Muhibbin (2005) yang meneliti paket acara campursari Tambane Ati yang ditayangkan oleh TVRI Jawa Timur setiap hari Minggu pukul 15.30-17.00 WIB. acara ini sangat unik sebab menggabungkan berbagai unsur budaya tradisional, termasuk pakaian, musik, tari, dialek. Disini, Muhibbin tampak banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Fairclough (mengenai semiotika) serta Berger dan Luckman (untuk teori konstritivisme).
Sebanyak 20 episode rekaman video diteliti oleh Muhibbin, dengan menitikberatkan pada level teks, dan tidak meneliti persoalan discourse practice, dan sociocultural practice mengacu pandangan Fairclough. Namun demikian, Muhibbin merasa penting untuk melakukan wawancara dengan beberapa pimpinan dan seniman musik campursari, termasuk para penyanyi yang pernah tampil dalam acara tersebut di stasiun televisi untuk “memperkaya informasi”, disamping studi literatur “untuk melihat bagaimana aspek sosial budaya ikut memengaruhi wacana” (Muhibbin, 2005: 91).
Pendekatan konstruktivisme digunakan dalam penelitian untuk melihat bagaimana pesan atau tepatnya tanda-tanda mengkonstruksi tiga wacana penting: apresiasi budaya, akulturasi budaya, dan elastisitas budaya Jawa. Dalam hal ini Muhibbin memperoleh kesan bahwa acara ini mengkonstruksi wacana apresiasi budaya dengan cara menyajikan beberapa elemen budaya daerah Jawa.tayangan ini juga mengapresiasi busana tradisional yang selalu dikenakan oleh penyanyi, pemusik, dan bahkan penonton.
Muhibbin juga memperoleh kesan bahwa acara tsb mengkonstruksi wacana akulturasi melalui beberapa elemen budaya menjadi satu paket acara, yang meliputi musik campursari, senitari, lawak, dan budaya parikan. Musik-musik campursari merupakan paduan dari beberapa jenis musik, baik dari segi instrumen, maupun aransemen. Berkenaan dengan unsur tari, acara tersebut menampilkan berbagai variasi tari tradisional yang diiringi dengan musik campursari.
Berkenaan dengan wacana elastisitas budaya Jawa, Muhibbin memperoleh kesan bahwa paket acara ini mengkontruksi hal tsb melalui beberapa hal, termasuk sifat gamelan dan instrumen musik lainnya, keragaman instrumentasi dan vokabuler musik, menyuguhkan realitas bahwa musik tradisional Jawa dapat menerima unsur musik lain, serta realitas bahwa seni tari tradisional dapat dipadukan dengan seni tari modern (Muhibbin, 2005: 192-193). 

Analisis Wacana (discourse analysis)
Pegertian Pokok dan Karakter
Secara singkat analisis wacana adalah suatu cara atau metode untuk mengakji wacana yang terdapat atau terkandung didalam pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual maupun kontekstual. Analisis wacana berkenaan dengan isi pesan komunikasi, yang sebagian di antaranya nerupa teks, seperti naskah pidato, transkrip sidang, artikel yang termuat disurat kabar, buku-buku dan iklan kampanye pemilihan umum.
Analisis wacana berkembang pesat, terutama seyelah dekade 1970-aan. Kendati demikian analisis wacana telah tumbuh sejak awal abad ke 20, khususnya setelah Franz Boas (seorang ahli linguistik dan antropologi budaya) menyarankan untuk adanya penelitian yang lebih serius mengenai saling keterkaitan yang kompleks antara bahasa dan kebudayaan. Kendati berkenaan dengan wacana, para antropolog biasanya lebih mementingkan bahsa lisan dibanding dengan bahsa tulis. Istilah wacana sebenarnya secara praktis berkenaan dengan kedua bentuk bahasa tadi yakni lisan dan tulisan sekaligus.
Pada umumnya disepakati pendefinisian wacana adalah proses sosiokultural sekaligus juga proses linguistik. Dalam konteks komunikassi sekarang analisis wacana tampaknya semakin diminati dan terkesan sebagai semacam titik temu antara berbagai jenis disiplin. Analisis wacana memungkinkan diupayakanya jembatan yang menghubungkan analisis mengenai bahsa yang bersifat mikro di satu sisi dengan analisis dinamika yang bersifat makro disisi lain.
Secara garis besar kita dapat menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana (Matsuki, 1996: 351-352). Pertama, pendekatn sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara makro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentuk-bentuk serta fungsi-funsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan dalam teks. Pendekatan ini seringkali di kritik sebagai terkesan kurang mementingkan proses-proses makrohistoris dari teks bersangkutan.
Kedua, pendekatan sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperti kekuasaan dan ideologi. Pendekatan ini lebih menempatkan lambang-lambang dalam konteks situasional maupun historis secara lebih luas sehingga lebih dekat dengan semiotika. Michael foucault seorang poststrukturalis Prancis mengingatkan  adlam hubungan ini bahwa pengguliran wacana dibatasi dan bahkan ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan pranata sosial yang kompleks yang ada di masyarakat, dan bukan semata merupakan persoalan bahasa (Keiko Matsuki, 1996: 351).
Selain pembedaan ini, analisis wacana juga dapat dibedakan dengan cara lain, yakni dengan melihat posisi peneliti dalam perspektif kritis. Bertolak dengan cara demikian maka analisis wacana dalam kajian komunikasi dapat dibedakan menjadi empat jenis : (a) wacana representasi (discourse of representation), (b) wacana pemahaman atau wacana interpretif (discourse of understanding), (c) wacana keragu-raguan (discourse of suspicion), (d) wacana posmodernisme (discourse posmodernism). Keempat jenis analisis wacana ini memiliki karakter masing-masing yang dapat ditunjukan, seperti yang tampak pada tabel berikut ini:
No
Jenis
Karakter Umum dan Posisi Peneliti
Kritis
1
wacana representasi
Bersifat positivistik.
Peneliti terpisah dari objek yang diteliti dan mempersepsi objek serta membuat representasi realitas dalam bentuk pengungkapan bahasa.
Tidak bersifat kritikal
2
wacana pemahaman
Bersifat interpretatif modernisme.
Antara peneliti dengan objek (realitas yang diteliti) tidak terpisah. Realitas didefinidikan oleh peneliti melalui interaksi antara yang mengetahui (subjek peneliti/informan) dengan pengetahuan (terutama dari sumber-sumber literatur), peneliti menstruktur observasi yang karena itu menstruktur apa yang diketahui.
Tidak bersifat kritikal
3
wacana keragu-raguan
Bersifat struktural dan kritikal modernisme.
Mengkonstruksi realitas berdasarkan frame social arrangement.
Bersifat kritikal
4
wacana posmodernisme
Bersifat poststruktural dengan menolak segala social arrangement.
Bersifat kritikal

Dikemukakan catatan penegasan disini bahwa analisis wacana memiliki dua nuansa pokok : bersifat kritis dan bersifat bukan kritis. Disini, analisis wacana yang bersifat kritis sangat dipengaruhi oleh teori kritikal. Karakter kualitatif interpretif dengan sendirinya berlaku sebagai pijakan penting. Disamping itu, juga mengambil titik tekan pada penekanan ideologi atau kekuatan-kekuatan dominan dan meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Dengan kata lain, dalam konteks penelitian komunikasi pendekatan kritikal secara umum dan analisis wacana bersifat kritis secara khusus berusaha untuk melacak bagaimana pesan-pesan komunikasi mengukuhkan penekanan, pengekangan, atau opresi di dalam masyarakat. 
Prinsip Dasar Analisis Wacana
Kalangan peminat analisis wacana, terlepas dari perbedaan-perbedaan di dalam memaknai istilah “wacana” serta fokus dari jenis wacana yang diteliti, pada umumnya berkeyakinan bahwa:
a)   Komunikasi terdiri dari tindakan-tindakan kompleks yang kemudian membentuk pesan dimana dikandung wacana atau wacana-wacana tertentu.
b)   Menusai terikat oleh ketentuan-ketentuan ketika menggunakan bahasa, membawa wacana, atau melakukan tindakan.
c)   Komunikator menggunakan wacana untuk mencapai tujuan, dan cara yang ditempuh dalam penggunaan wacana pada dasarnya terikat oleh ketentuan-ketentuan.
d)  Kendati bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan wujud nyata dari aktivitas komuniasi, namun sebenarnya discourse-lah yang menjadi materi dari komunikasi.



Beberapa Tokoh dan Sumbangannya
1.   John Power
Bagi Powers, pesan merupakan hal yang bersifat sentral dalam komunikasi. Pesan memiliki tiga unsur pokok yang bersifat struktural, yakni sebagai berikut:
·      Lambang atau simbol sebenarnya relatif bersifat independen. Artinya, antara lambang dan realitas yang dilambangkan sebenarnya tidak ada hubungan yang logis.
·      Bahasa merupakan suatu kode yang bersifat formal. Artinya, kata-kata serta kalimat-kalimat, dan tanda-tanda bahasa lain dikembangkan dan dimaknai sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam masyarakat.
·      Wacana pada umumnya memiliki struktur tertentu sebagai konsekuensi dari sifat saling kait-mengkait antara unsur wacana yang satu dengan undur wacana lainnya.
2.   Scott Jacobs
Scott menyaraankan tiga jenis persoalan yang dapat dilacak dengan menggunakan analisis wcana. Pertama, masalah makna, yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana orang memahami pesan-pesan atau informasi-informasi apa yang terkemas dalam suatu struktur pesan. Kalau ditanyakan, apakah ada air panas, maka salah satu makna yang dapat kita berikan terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa orang yang bersangkutan membutuhkan air panas.
Kedua, masalah tindakan, yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana cara yang digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan pesan-pesan yang disampaikan. Seseorang yang kehausan dan membutuhkan minuman maka kemingkinan akan mengatakan “aduh, saya haus,” sambil menunjukan kegelisahan.
Ketiga, koherensi, yakni berkenaan dengan persoalan bagaimana menyususn pola-pola perbincangan yang mudah diterima dan logis, serta prinsip bagaimana yang dipakai dalam menjalin suatu pernyataan dengan pernyataan lain. Seseorang yang kehausan tadi setelah mengatakan “aduh, saya haus,” mungkin akan melepas kancing baju bagian atas, mengipas-ngipas wajah, serta mengatakan, “apakah ada air dingin?”

Area Analisis Wacana
Ada tiga bidang kajian yang telah membuat analisis wacana menjadi berkembang pesat, terutama dalam antropologi yang kemundian berpengaruh kedisiplin ilmu komunikasi, yakni sebagai berikut:
a)   Etnografi komunikasi
Etnografi komunikasi dirintis oleh Dell Hymes di awal dekade 1960-an. Ia lebih memfokuskan studinya pada persoalan penggunaan bahasa serta fungsi-fungsinya ketimbang pada struktur bahasa. Ia menyarankan seyogyanya para antropolog meneliti relativisme linguistik tidak hanya mengenai struktur bahasa, tetapi juga funsi-fungsinya dengan cara membandingkannya dengan budaya lain. Area ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bagsa dan budaya. Penelitian etnografis kemunikasi dapat membantu meningkatkan saling pegertian, kerukunan, dan kerjasama.    
b)  Analisis Percakapan
analisis percakapan dirintis dalam tradisi sosiologi interaksional, terutama ethnomethodology yang dikembangkan oleh Harold Garfikel di akhir dekade 1960-an. Dalam conversational analysis, wacana atau percakapan dianggap sebagai produk dari proses interaksi. Suatu realitas sosial tidak hadir secara objektif diluar pengaruh unsur-unsur sosial, tetapi terkonstruksi melalui percakapan yang cenderung bersifat tatap muka diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses interaksi.
c)   Ethnopoetics
Analisis yang sangat rinci terhadap persoalan-persoalan bahasa lebih dipentingkan dalam ethnopoetics. Tradisi ini merupakan yang paling tu dalamanalisis wacana sejak dirintis oleh Boas beserta para mahasiswanya. Akan tetapi, pada dasawarsa 1970-an Hymes dan Tedlock mengupyakan terobosan baru dengan meneliti struktur dan fungsi dari keindahan bahasa yang digunakan masyarakat bukan barat. Kedua tokoh ini mengembangkan tradisi analisis wacana berkenaan dengan bentuk wacana terucap (oral discourse). Tradisi ini rupanya memberikan inspirasi untuk berkembangnya penelitian mengenai berbagai bentuk karya seni yang menggunakan bahasa lisan, termasuk drama, puisi, musik, khususnya lirik-lirik lagunya.
Titik berat dari studi area ini adalah pesan-pesan verbal yang digunakan oleh komunikator (penyair, pengarang, penulis, naskah/skenario) dengan melihat penggunaan bahasa sebagai bentuk ekspresi yang memiliki struktur dan fungsi-fungsi tertentu dalam mengungkapkan nilai-nilai keindahan serta pandangan-pandangan filsafat dan moral.  
Prosedur penelitian Analisis Wacana
Melakukan penelitian dengan mengguakan analisis wacana dapat dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:  
1.   Memilih topik
2.   Merumuskan pertanyaan penelitian, dengan membawa implikasi pada area penelitian dengan metode analisis wacana dan juga jenis penelitian dengan analisis wcana serta pendekatan mana yang sesuai.
3.   Melakukan studi pustaka berkenaan dengan topik dan fokus yang dipilih sebagaimana tersurat dalam pertanyaan penelitian. Studi pustaka akan meghasilkan penjelasan tentang konsep-konsep dan simbol-simbol yang terdapat dalam teks yang sedang diteliti serta pandangan-pandangan teoritik yang relevan dengan keduanya.
4.   Menentukan metode penelitian sesuai/konsisten dengan pertanyaan penelitian.
5.   Mengumpulkan data dan menganalisisnya dengan merujuk pandangan-pandangan teoritik yang diperoleh dengan telaah pustaka.
6.   Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mengacu pada pertanyaan penelitian. Kesimpulan tidak lain adalah asil interaksi antara kesan peneliti terhadap kecendrungan-kecendrungan yang ada pada data serta pilihan rujukan berupa pandangan teoritis yang diambil yang kemudian membingkai analisis.
7.   Penyusunan laporan penelitian mungkin dapat diawali dengan laporan awal yang diseminarkan.


Contoh penelitian
Bagaimana soekarno mengembangkan wacana tentang perampuan dalam buku yang ditulisnya berjudul sarinah diteliti oleh Pawito (2006). Penelitian ini mengambil titik tekan pada pertanyaan: (a) bagaimana realitas tentang perempuan dilukiskan oleh soekarno?, (b) bagaimana bahasa yang digunakan oleh soekarno dalam mengembangkan wacana tentang perempuan dan apa fungsi dari bahasa bersangkutan?, (c) simbol-simbol apa (bagaiman) yang digunakan oleh soekarno dalam mengembangkan wacana tentang perempuan?. Dalam kaitan ini peneliti mengambil area analisis wacana, terutama etnografi komunikasi dengan menggunakan pendekatan sosiokultural, yakni dengan menempatkan wacana sebagai praktik sosial yang karenanya melihat wacana perempuan yang dikembangkan oleg soekarno dalam sarinah ini sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperi kekuasaan dan ideologi.
Peneliti mendapatkan kenyataan, antara lain, bahwa malalui sarinah soekarno mengembangkan wacana tetang perempuan ke dalam bingkai atau koteks yang bervariasi, termasuk budaya masyarakat, kekuasaan, dan ideologi, serta perjuangan bangsa Indonesia. Berkenaan dengan konteks budaya masyarakat, soekarno melihat bahwa masyarakat Indonesia memperlakukan kaum perempuan (1960-an) secara tidak adil, yakni cenderugn ditempatkan di belakang dan tidak diberi peran. Soekarno juga mengamati bahwa kaum perempuan cenderung di perlakukan seperti dewi tolol, yang senantiasa di pundi-pundi dan dijaga-jaga seperti seorang dwi, namun juga di tolong-tolong seolah-olah kaum perempuan tidak dapat berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri. 

II.3 Partisipatory Action Research
Participatory Action Research memiliki prinsip dasar yang harus dipahami terlebih dahulu, yakni antara lain sebagai berikut:
1.   PAR harus diletekkan sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki praktek-praktek sosial dengan cara merubahnya dan belajar dari akibat-akibat dari perubahan tersebut.
2.   Secara keseluruhan merupakan partisipasi yang murni (autentik) dimana akan membentuk sebuah spiral yang berkesinambungan sejak dari perencanaan (planing), tindakan (pelaksanaan atas rencana), observasi (evaluasi atas pelaksanaan rencana), refleksi (teoritisi pengalaman).
3.   PAR merupakan kerjasama (kolaborasi), semua yang memiliki tanggungjawab atas tindakan perubahan dilibatkan dalam upaya-upaya meningkatkan kemampuan mereka.
4.   PAR merupakan suatu proses membangun pemahaman yang sistematis (systematic learning process), merupakan proses penggunaan kecerdasan kritis saling mendiskusikan tindakan mereka dan mengembangkannya, sehingga tindakan sosial mereka akan dapat benar-benar berpengaruh terhadap perubahan sosial.
5.   PAR suatu proses yang melibatkan semua orang dalam teoritisasi atas pengalaman-pengalaman mereka sendiri
Dari kesemua prinsip-prinsip PAR yang ada, yang terpenting adalah dalam PAR tidak mengharuskan membuat dan mengelola catatan rekaman yang menjelaskan apa yang sedang terjadi se-akurat mungkin, akan tetapi merupakan analisa kritis terhadap situasi yang secara kelembagaan diciptakan (seperti melalui proyek-proyek, program-program tertentu atau sistem. Salah satu prinsip dalam PAR yang paling unique adalah menjadikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri sebagai sasaran pengkajian (objectifying their own experience).
Pada dasarnya Participation Action Research (PAR) adalah penelitian yang melibatkan semua pihak yang relevan dalam meneliti secara aktif bersama-sama tindakan saat ini ( yang mereka alami sebagai bermasalah ) dalam rangka untuk mengubah dan memperbaikinya.
Mereka melakukan hal ini dengan merenungkan secara kritis historis, politik, budaya, ekonomi, geografis dan konteks lainnya yang dapat di pahami. Participatory action research tidak hanya melitian apa yang diharapkan akan diikuti oleh suatu tindakan. Hal ini adalah tindakan yang harus diteliti, diubah dan kemudian diteliti kembali, dalam proses penelitian di lakukan oleh para peserta.
Hal ini juga bukan hanya sekadar varian dari konsultasi eksotis. Sebaliknya, bertujuan untuk menjadi aktif dengan adanya penelitian oleh dan untuk orang-orang yang akan membantu. Ini juga tidak dapat digunakan oleh sekelompok orang untuk mendapatkan sekelompok orang lain untuk melakukan apa yang pikiran terbaik untuk mereka , apakah itu adalah untuk menerapkan kebijakan pusat atau suatu organisasi atau perubahan layanan. Sebaliknya adalah mencoba untuk menjadi orang yang benar-benar demokratis atau non-koersif proses di mana orang-orang yang akan membantu, menentukan tujuan dan hasil penyelidikan mereka sendiri. Wadsworth, Y. (1998) Apa Itu Participation Action Research?
Asal muasal action research tidak jelas dalam suatu literatur. Pengarang seperti Kemmis dan Mc Taggert (1988), Zuber-Skerrit (1992), Holer dan Schwartz-Barcott (1993) menyatakan bahwa action research berasal dari Kurt Lewin, seorang psikolog Amerika. McKernan (1988 seperti disitasi dalam MecKernan 1991) menyatakan bahwa action research sebagai sebuah method of inquiry telah berkembang pada abad lalu dan studi literatur memperlihatkan “dengan jelas dan meyakinkan bahwa action research berakar pada derivatif dari metode ilmiah” yang berhulu kepada gerakan ilmu pendidian pada akhir abad 19.” (McKernan 1991:8).
McKernan (1991) juga menyatakan bahwa ada bukti bahwa dimana penggunaan action research oleh sejumlah reformis sosial sebelum lewin, seperti Collier tahun 1945, Lippitt and Radke tahun 1946 dan Corey tahun 1953. Mc Taggert (1992) mensitasi karya Gstettner and Alltricher menggunakan group participation pada tahun 1913 pada sebuah inisiatif pengembangan komunitas prostitusi di Vienna. Freideres (1992) memasukan konsep participation research yang muncul tahun 1970 dari pengembangan lebih lanjut dari pengalaman negara berpenghasilan rendah.
Meskipun masih berkabut asal mula action research, Kurt Lewin pada tahun 1940-an membuat teori action research, yang menjelaskan action research sebagai  proceeding in a spiral steps, each of which  is composed of planning, actions, and the evaluation of the result of action (Kemmis and Mc Taggert 1990). Lewin berargumentasi bahwa dalam rangka memahami dan merubah paksis-praksis sosial tertentu, ilmuwan sosial harus memasukkan prakatisioner dari dunia sosial nyata  dalam semua fase penyelidikan (McKernan 1991). Konstruksi dari teori action research oleh Lewin ini membuat action research menjadi sebuah metode penyelidikan yang dapat diterima (McKernan 1991).
Pengertian Participation Action Research (PAR)
Participation Action Research (PAR) adalah suatu cara membangun jembatan untuk menghubungkan orang. Jenis penelitian ini adalah suatu proses pencarian pengembangan pengetahuan praktis dalam memahami kondisi sosial, politik, lingkungan, atau ekonomi. PAR(Participation Action Research) adalah suatu metoda penelitian dan pengembangan secara partisipasi yang mengakui hubungan sosial dan nilai realitas pengalaman, pikiran dan perasaan kita. Penelitian ini mencari sesuatu untuk menghubungkan proses penelitian ke dalam proses perubahan sosial. Penelitian ini mengakui bahwa poses perubahan adalah sebuah topik yang dapat diteliti. Penelitiain ini membawa proses penelitian dalam lingkaran kepentingan orang dan menemukan solusi praktis bagi masalah bersama dan isu-isu yang memerlukan aksi dan refleksi bersama, dan memberikan kontribusi bagi teori praktis.
PAR(Participation Action Research) melibatkan pelaksanaan penelitian untuk mendefinisikan sebuah masalah maupun menerapkan informasi ke dalam aksi sebagai solusi atas masalah yang telah terdefinisi. PAR(Participation Action Research) adalah “penelitian  oleh, dengan, dan untuk orang” bukan “penelitian terhadap orang”. PAR(Participation Action Research) adalah partisipatif dalam arti bahwa ia sebuah kondisi yang diperlukan dimana orang memainkan peran kunci di dalamnya dan memiliki informasi yang relevan tentang sistem sosial (komunias) yang tengah berada di bawah pengkajian, dan bahwa mereka berpartisipasi dalam rancangan dan implementasi rencana aksi itu didasarkan pada hasil penelitian. PAR(Participation Action Research) dikenal dengan banyak nama, termasuk partisipation research, action research, collaborative inquiry, collaborative action research, emancipatory research, action learning, contextual action research; semuanya itu hanyalah variasi dalam tema yang sama.
PAR(Participation Action Research) adalah ’seni’ membangun jembatan mencapai pemahaman yang saling menguntungkan, menghubungkan orang, gagasan, dan sumber, membangun hubungan melalui itu kita dapat menciptakan landasan yang kokoh antara perorangan dan komunitas, bekerja menuju solusi yang saling menguntungkan atas masalah bersama, dan belajar bagaimana untuk maju menyongsong masa dengan tana harus membuat ‘roda’, sambil melewati bermunculannya kembali kendala, secara esensial meraih suatu tingkat kesadaran yang tinggi dari mana kita menjadi berdaya untuk memcahkan masalah-masalah.
PAR(Participation Action Research) adalah sebuah dual shift yaitu sebuah pergeseran dalam paradigma penelitian kita maupun sebuah pergeseran dalam cara-cara kita mengejar pembangunan.
Paradigma pertama, PAR(Participation Action Research) merubah cara berpikir kita tentang penelitian dengan menjadikan penelitian sebuah proses partisipasi. PAR(Participation Action Research) itu sendiri adalah sebuah kondisi yang diperlukan dimana orang memainkan peranan kunci di dalamya dan memiliki informasi yang relevan tentang sistem sosial atau komunitas,  yang tengah berada di bawah studi. ‘Subjek’ penelitian lebih baik untuk dirujuk atau menjadi rujukan sebagai anggota-angota komnitas, dan mereka berpartisipasi dalam rancangan, implementasi, dan eksekusi penelitian. PAR(Participation Action Research) juga adalah sebuah pergeseran dalam pengertian bahwa ke dalamnya termasuk elemen aksi. PAR(Participation Action Research) melibatkan pelaksanaan penelitian untuk mendefinisikan sebuah masalah maupun penerapan informasi dengan mengambil aksi untuk menuju solusi atas masalah-masalah yang terdefinisikan. Anggota-anggota komunitas berpartisipasi dalam rancangan dan implementasi dalam rencana tindak strategis didasarkan pada hasil penelitian.
Paradigma kedua, PAR(Participation Action Research) adalah proses dengan mana komunitas-komunitas berusaha mempelajari masalah secara ilmiah dalam rangka memandu, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan dan aksi mereka. Cara-cara penelitian yang selama ini biasa dilakukan kalangan akademisi dan peneliti dalam komunitas kita, justru dapat menjadi tantangan dan ancaman bagi sebuah komunitas. Hubungan antara penelitian ilmiah (intellectual research) dapat menjadi intrusive dan exclusive. Kedua tipe penelitian ini juga dapat melenyapkan bagian-bagian penting dan vital dari sebuah proyek penelitian  yakni pengalaman hidup nyata, mimpi, pikiran, kebutuhan, kemauan dari anggota komunitas. PAR(Participation Action Research) menawarkan metoda-metoda untuk merubah hakekat hubungan antara orang, dengan organisasi yang biasanya dikejar proyek penelitian dan pengembangan. Hubungan ini termasuk bagaimana kita memahami peran kita sebagai facilitators, bukan sebagai experts, bagaimana kita mengelola hubungan dengan lembaga pendidikan dan lembaga bisnis, dan bagaimana kita bekerja satu sama lain sebagai siswa, guru, tetangga, dan anggota komunitas.
Dalam PAR terdapat tiga features, yakni participation, action, research.
1.   Participation mengambil bentuk inquirer decision-making yang menggunakan ‘the principle of equity’ (dipahami sebagai co-existence and self determination) untuk membawa divergent contextual factors dan divergent interpretations dari metodologi ke dalam tugas menggeneralisasi data (subscribing to the ‘relativist’ characteristic of the paradigm).
2.   Action adalah direct experience dari partisipan dengan isu sebagaimana dipresentasikan dalam setiap kehidupan sehari-hari, dan bagaimana participatory action research methods dapat melibatkan secara langsung partisipan dengan dunia mereka.
3.   Research adalah process and form menghasilkan pengetahuan dalam empat domain pengetahuan: experiental, presentational, propositional, practical (John Heron 1996), dan sebagaimana diarahkan oleh partisipan untuk pelananan terbaik bagi kepentingan masyarakat.  Pengetahuan dikembangkan melalui dialog reflektif dan analisis kritis yang dilakukan oleh partisipan yang terlibat dalam aksi (subscribing to the hetrmeneutic and dialog characteristic of the paradigm).
Contoh Definisi
 Beberapa contoh definisi yang pernah dirumuskan :
Ø Kurt Lewin, (1947)    
Pencetus terminologi “Action Research” AR adalah proses spiral yang meliputi ;
§  perencanaan tindakan yang melibatkan investigasi yang cermat ;
§  pelaksanaan tindakan ;
§  penemuan fakta-fakta tentang hasil dari tindakan ; dan
§  penemuan makna baru dari pengalaman sosial.
Ø Corey, (1953)     
Action Research adalah proses dimana kelompok sosial berusaha melakukan studi masalah mereka secara ilmiyah dalam rangka mengarahkan, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan dan tindakan mereka.
Ø Hopkins, (1985)     
Dimaksudkan untuk mengkontribusikan baik pada masalah praktis pemecahan masalah maupun pada tujuan ilmu sosial itu sendiri dengan mengkolaborasikan didalamnya yang dapat diterima oleh kerangka kerja etik.
Ø Peter Park, (1993)   
Para penguatan rakyat melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan yang efektif menuju perbaikan kondisi kehidupan mereka.

Tipe-Tipe Participation Action Research.

Grundy (1988) mendiskusikan tiga mode PAR (Participation Action Research)technical, practical, emancipatory. Holter and Schwartz-Barcott (1993) juga mendiskusikan tiga tipe PAR(Participation Action Research), yakni: technical collaborative approach, mutual collabroative approach, enhancement approach. McKernan (1991) juga mendaftarkan tiga tipe action research: scientific-technical view of problem solving; practical-deliberative action research; critical-emancipatory action research. McCutcheon and Jurg (1990) mendiskusikan tiga perspektif tentang PAR: positivist perspective, interpretivist perspective, critical cscience perspective.

Metode dan Alat Kerja Participation Action Research.

 Secara umum, metode PAR(Participation action Research) terbagi dalam dua tipe, yakni Eksplanatif dan Tematik. PAR(Participation action Research) Eksplanatif memfasilitasi komunitas/masyarakat untuk menganalisis kebutuhan, permasalahan, dan solusinya, kemudian merencanakan aksi transformatif. Sedangkan PAR(Participation action Research) Tematik menganalisis program yang sudah berjalan, sebagai alat evaluasi dan pengamatan (monitoring).
Memanfaatkan kekayaan riset-riset konvensional yang masih terus berkembang, RAP melengkapi diri dengan banyak metode dan alat kerja. Untuk mengumpulkan data lapangan dan menganalisisnya, PAR(Participation action Research) memiliki metode pemetaan lokasi melalui kegiatan kunjungan lapangan (transect), wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD).
Dalam FGD misalnya, partisipan atau informan tidak sebatas berdiskusi dalam posisi duduk, melainkan bisa berdiskusi dalam dinamika tertentu dengan menggunakan alat kerja tertentu, misalnya pemetaan gagasan (mind mapping), menggambar diagram pohon masalah (problem tree), menulis peringkat kualitas (ranking), menggambar diagram keterkaitan (linkage diagram), hingga bermain peran (role play) kemudian mendialogkan peran masing-masing dalam konteks situasi yang dimaksud.
Dalam dinamika tersebut, anggota komunitas sebagai partisipan PAR(Participation action Research) berpeluang lebih besar mengungkapkan pengalaman, gagasan, dan refleksi mereka secara lebih terbuka karena terbantu dengan sejumlah alat kerja yang memudahkan pengamatan (visual) dan kegiatan yang dinamis/tidak kaku. Dinamika tersebut juga memudahkan fasilitator untuk mendorong sebanyak mungkin anggota komunitas berpartisipasi lebih aktif karena menggunakan kegiatan dan alat kerja yang bisa dipilih atas dasar kesesuaiannya dengan latar belakang budaya, pendidikan, dan pekerjaan partisipan/informan.

Rancangan dan Metoda Penelitian.

PAR(Participation action Research) secara teoritis menggambarkan semua metoda penelitian ilmu sosial yang pernah ada. Karena PAR(Participation action Research) memiliki premis prinsip-prinsip bahwa orang dengan sebuah masalah melakukan investigasi mereka sendiri, sehingga mengesampingkan teknik-teknik yang membutuhkan pemisahan antara penelitian dengan yang diteliti, seperti ketika experimental “subjects” dikesampingkan sebagai kegunaan penelitian. Metoda PAR berada di balik teknik dan sumber material dari orang yang terlibat. Field observation, penelitian pustaka dan arsip, investigasi sejarah menggunakan dokumen dan sejarah pibadi, narratives and story telling, maupun questionnaires dan wawancara, semuanya digunakan dalam PAR(Participation action Research).
Sekali pertanyaan penelitian diformulasikan, peneliti menyajikan opsi-opsi metodologis bagi kelompok dengan mempertimbangkan orang-orang yang ada  dan sumber material dari komunitas, dan menjelaskan logika mereka, efikasi, dan batasan.  Aspek PAR ini mengekspose metodologi penelitian dan menempatkannya pada tangan orang per orang sehingga mereka dapat menggunakannya sebagai sebuah alat pemberdayaan. Tujuan dari PAR(Participation action Research) adalah agar peneliti menggerakkan proses dengan berbagi pengetahuan dan ketrampilan warga kelompok.
Komunikasi adalah sebuah metodologi kunci dalam PAR(Participation action Research). Ia menggambarkan kombinasi komunikasi secara kreatif seperti tulisan, lisan, dan visual dalam rancangan, implementasi dan dokumentasi penelitian. Pekerja sosial masyarakat misalnya, kalangan perempuan pedesaan, dan kesadaran meningkatkan kelompok menggunakan foto dokumentasi seseorang dalam kehiduoan sehari-hari (photo novella) untuk mencatat dan merefleksikan kebutuhan mereka, mempromosikan dialog, mendorong aksi, dan menginformasikan kebijakan. Peneliti menggunakan teater dan imajinasi visual untuk menfasilitasi collective learning, expression, action. Bentuk lain dari komunikasi populer digunakan bersama-sama dalam menulis lagu, membuat kartun, pertemuan komunitas, community self-portraits dan rekaman videotape.
Pengembangan pengetahuan secara kritis mengundang pencampuran kreatif  dari metoda tradisional melalui pertanyaan dan pendekatan. Pengunaan metoda komunikasi alternatif dalam PAR(Participation action Research) mendorong peneliti untuk menguji kembali metoda konvensional dan membuka kemungkinan menggunakan metoda-metoda yang selama ini tidak pernah mendapatkan legitimasi secara ilmiah.

Pengertian Participation Action Research Secara Terpisah.


Pengidentifikasi beberapa karakteristik utama PAR(Participation action Research), dan untuk mencoba juga menunjukkan mengapa terdapat dua kesimpulan berikut:
·      PAR(Participation action Research) adalah deskripsi penelitian sosial (meskipun penelitian sosial yang lebih benar akan asumsi-asumsi yang mendasarinya, dan kolektivis alam, tindakannya mengatur konsekuensi dan nilai-nilai).

·      berbagai hambatan terhadap praktek, yang bahkan ketika kita berpikir kita mungkin bisa melakukan itu, kita sering memiliki keraguan. Disini  disimpulkan bahwa hampir semua riset kita akan terlibat didalamnya, kurang lebih suatu pendekatan ke arah PAR(Participation action Research). Artinya, setiap bagian dari penelitian kurang lebih berpartisi. Dan memungkinkan tindakan sebagai bagian dari proses. Dan itu semua melibatkan refleksif kritis, skeptis dan imajinatif penyelidikan.
Ditemukan untuk meringkas ciri utamanya di bawah tiga judul yang membentuk nama, yaitu: participation, action dan research. Dimulai dengan menguraikan karakteristik Pendefinisian PAR(Participation action Research) sebagai penelitian dalam jenis pengalaman sehari-hari dalam hidup kita. Dalam contoh yang paling kecil dapat ditemukan struktur yang sama atau logika penyelidikan sebagai yang paling luas dalam jangka panjang _ program penelitian universitas.


PENUTUP
Kesimpulan
Analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian linguistik, dan linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik.
Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimkasud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks yang berupa lambang-lambang. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik. 
Pada dasarnya PAR(Participation action Research) yang banyak dipopulerkan oleh pemikiran-pemikiran kritis seperti halnya Paulo Freire, Antonio Gramsci dan para pemikir kritis mazhab kritis Frankfurt adalah upaya keluar dari kebuntuan mainstream analisis sosial dan riset yang mekanis dan positivistik. Prinsip pokok yang ingin diangkat dalam riset ini adalah meletakan keterlibatan subjek masyarakat sebagai bagian penting dalam analisis sosial. Orientasi riset diarahkan untuk melakukan usulan-usulan perubahan dalam nilai proses yang dialektikal yakni dikembangkan dalam spirit  “ participation – action – research ”.
     Dalam proses riset ini tidak ada kesimpulan akhir, karena menyadari bahwa kondisi objektif masyarakat akan selalu berkembang, berubah dan berdinamika dengan seluruh keterkaitan perubahan-perubahan kondisi objektif yang ada. Menjadi jelas bahwa PAR(Participation action Research) memang tidak diorientasikan untuk melakukan kesimpulan atas hipotesa kita tentang masyarakat, melainkan menjadi “alat dan senjata analisis” untuk mendorong berbagai perubahan sosial. Ada tiga pilar penting untuk membaca secara utuh dimensin riset aksi ini, yakni : metodologi riset, dimensi aksi dan dimensi partisipatoris. Tiga pilar itu lebih jelasnya akan mengatakan bahwa PAR(Participation action Research) dikerjakan dengan memacu pada paradigma dan metodologi riset tertentu, harus diorientasikan untuk melakukan aksi perubahan dan transformasi sosial, dan dalam praktiknya riset ini harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses riset sosial.
 PAR(Participation action Research) secara sadar mengakui bahwa riset ini mempunyai kerangka dasar perspektif yang lebih kritis dibandingkan dengan pola-pola riset “konvensional” yang masih menjadi mainstream penelitian saat ini. Paradigma kritis tentu saja mendorong lahirnya sebuah riset sebagai cara membangun emansipasi. Riset ini secara sadar mengakui adanya usaha wajib untuk keterlibatan penuh antara subjek peneliti dan subjek komunitas (rakyat). Persentuhan dan keterlibatan peneliti dalam masyarakat bukan hanya dalam hal kedekatan jarak secara fisik melainkan subjek peneliti menjadi bagian utuh dari proses hidup komunitas. Riset Aksi Partisipatpris dilaksanakan secara partisipatoris di antara masyarakat dalam sebuah komunitas atau lingkup sosial yang lebih luas untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif. Konsep transformasi yang ditawarkan minimal membawa pesan :
§  pertama, membawa orang-orang yang terisolasi kedalam masalah dan kebutuhan bersama;
§  kedua, melakukan berbagai dialog dan validasi pengalaman untuk proses pemahaman dan refleksi kritis;
§  ketiga, menyajikan pengetahuan dan pengalaman peneliti sebagai informasi tambahan bagi upaya refleksi secara kritis;
§  keempat,  mengkontekstualisasikan apa yang selama ini dirasakan setiap pribadi;
§  kelima, menghubugkan pengalaman pribadi dengan kenyataan-kenyataan sosial di sekitarnya





DAFTAR PUSTAKA

http://roelcup.wordpress.com/2010/03/22/participation-action-riset/#more-157
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta. LkiS
     diakses pada tanggal 24 Desember 2010, jam 19.15
     diakses pada tanggal 24 Desemser 2010, jam 19.40



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan Lainnya:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *