by :Ahmad Elqorni
Sebuah pertanyaan besar
kenapa baru sekarang diberlakukan setelah budaya teksbook kita begitu kuat
dalam kurikulum pendidikan kita, mahasiswa terbiasa dengan hapalan-hapalan
teks yang tak berimbang dengan apliaksi kasus.
Sehingga mereka terbiasa dengan asupan-asupan
imu dalam diktat dan buku paket yang baku yang tidak mengarah pada apresiasi
dan kreatiftas kita hanya hapalan-hapalan biasa yang sulit dipahami. Mereka hebat berteori tapi lemah dalam aplikasi. sehingga terkadang tidak tahu mengaplikasikan teori kedalam dunia nyata saat mereka bekerja mereka bingung, kalau teori yang mereka pelajari tidak sama dengan dunia baru mereka.
Saat
skripsi mereka membolak-balikan hasil
skripsi sudah menjadi budaya sehari-hari di perpustakaan kampus. Mereka skripsi
hanya melihat karya orang lain dan menduplikasikannya, kalau bisa dbuatkan
skripsi yang bertebaran di sudut kampus Apalagi persepsi penelitian sekedar
syarat kelulusan bukan untuk pembuktian kualitas mereka sebagai intelektual dan pembelajaran mereka selama delapan semester
kuliah di perguruan tinggi.
Begitu juga karya ilmiah
dan hasil riset dosen di Indonesia tak begitu jauh, dengan berbagai dalih sangat kurang mendapat perhatian, kurangnya
subsidi bagai penelitian, belum ada publikasi luas sebatas jurnal kampus atau
hanya sekedar persyaratan sertifikasi dosen atau kepangkatan yang bisa copy
paste dan hanya formalitas semata sehingga semangat meneliti-pun seolah sirna oleh kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Hasil penelitian palgiator terjadi dikalangan maha guru seperti terjadi pada tahun 90-an Ismet Fanany menuduh desertasi hasil karya Dr. Yahya Muhaimin dalam
judul “Bisnis Dan Politik Di Indonesia”
sebagai duplikasi dari karya ilmuwan Australia Dr. Richard robinson, “Capitalism An The Bureaucratic State In
Indonesia” [1]
ketika ada kebijakan baru untuk mewajibkan kelulusan setelah hasil karya ilmiah mereka S1, S2 secara nasional dan S3
harus terpublikasikan secara internasional seperti tanparan pedas, apalagi dibnadingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti malaysia sudah sepuluh tahun yang lalu. Sebuah gebrakan baru yang sebenarnya
sudah diterapkan dinegara lain, walaupun dirasakan apriori mengenai beberapa
hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah dalam hal ini dikti dalam hal :
a)
Siapa yang
menjadi media publikasi nasional, bagi PTN jelas dari pemerintah resmi dalam
hal ini mendiknas, lalu PTS dengan bermacam grade kulaitas-nya.
b)
Berapa jumlah calon sarjana yang harus ngantri
untuk dipublikasikan, kualitas karya ilmiahnya bagaimana yang gagal, kapan
kelarnya?
c)
kualitas
pembimbing riset yang alakadarnya dan bagaimana fee, termasuk resiko semakin
menumpuk calon sarjana yang tertunda dengan kebijakan ini terutama kampus yang
kualitasnya masih dibawah standar nasional.
Kita akui program publikasi
hasil penelitian ini akan meningkatkan budaya penelitian yang kuat setelah
mereka menjadi sarjana, karena merasa hasil penelitian mereka terbaca semua
orang dan menjadi promosi personal. Tapi masalah diatas terutama media publikasinya
benar-benar qualified dan memikirkan kualitas PTS yang masih belum standar baik
dalam perangkat kuirkulum maupun infrastruktur. artinya semua secara
bertahap dengan memperhatikan kualitas dosen untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan
menyediakan penerbitan dengan memperhatikan royalty ilmiah mereka sehingga
memberikan motivasi penelitian mereka semakin kuat, plus ada bantuan yang
proporsional antara dosen negeri dan swasta untuk riset. dan publikasi ilmiah ini perlu kita dukung oleh semua stakeholder pendidikan sebagai suatu pemberdayaan kualitas. bukan suatu yang tidak mungkin dan bahkan ini akan berlanjut pada upaya meningkatkan transparansi dan hak intelektual para intelektual kita untuk terus berpacu meneliti dan meningkatkan kualitasnya. wallahu alam bishowab.