16 November 2009

Modul 2 # Masalah Penelitian, Variabel dan paradigma penelitian

MASALAH PENELITIAN

 Masalah adalah kesenjangan (discrepancy) antara apa yang seharusnya (harapan) dengan apa yang ada dalam kenyataan sekarang. Kesenjangan tersebut dapat mengacu ke ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Penelitian diharapkan mampu mengantisipasi kesenjangan-kesenjangan tersebut.

Telah disebutkan sebelum Bagian ini bahwa titik awal suatu kegiatan penelitian adalah upaya membuat rumusan masalah penelitian. Rumusan masalah penelitian bisa dibuat oleh seorang peneliti melalui beberapa kemungkinan latar belakang yang dibuat :
(1) Setelah menyadari adanya suatu permasalahan kehidupan yang sedang dihadapi manusia atau masyarakatnya. Masalah kehidupan yang sedang hangat dibicarakan dalam buku ini disebut ”topik masalah” Topik masalah inilah yang menyadarkan seorang pemikir untuk berperan memecahkan sejumlah rumusan masalah penelitian yang terkait dengan topik masalah itu tadi.
(2) Setalah menyadari potensi permasalahan di masa datang setidaknya menurut pandangan dan pertimbangan teoritis dari suatu bidang keilmuan. Potensi permasalahan itu perlu diantisipasi pemecahannya. Sehubungan dengan itu diperlukan penelitian terhadap butir-butir permasalahan yang secara khusus telah dirumuskan.
Dari suatu topik masalah penelitian dapat dirumuskan satu atau lebih butir masalah penelitian. Ada lima tipe topik masalah penelitian yang dapat digarap oleh seorang peneliti. Mahasiswa S1 dianjurkan memilih masalah tipe 1 atau 2 pada tabel dibawah ini :

Tipe Alasan mengapa dipermasalahkan
  • Tipe 1 Keperluan mendteksi penyebab terjadinya suatu fenomena yang merugikan atau menguntungkan agar gejala dan akibat lanjutannya dapat diatasi atau dipacu
  • Tipe 2 Keperluan Memperbaiki kesalahan kebijaksanaan peruahaan (pemerintah) yang tengah berjalan agar kelemahan-kelemahan yang ada dapat diatasi
  • Tipe 3 Keperluan meramalkan akibat positif dan negatif dari suatu kebijaksanaan baru, langkah dini dapat diarahkan untuk menaikkan yang positif dan menihilkan yang negatif.
  • Tipe 4 Keperluan mengkuantitatifkan strategi kebijakan yang masih konsepsional sehingga dapat menjadi operasional.
  • Tipe5 Keperluan membuat pendekatan baru atau alternatif guna meningkatkan ketelitian pengukuran mengenai cara pengukuran yang telah dirumuskan oleh teori lain atau peneliti sebelumnya
Dari suatu topik yang menarik untuk diteliti diperlukan langkah merumuskan masalah. Adapun langkah untuk merumuskan masalahan penelitian dapat menggunakan satu atau dua dari teknik berikut :
(1) Teknik pengenalan Beda Garis Fenomena Ideal terhadap Garis Fenomena Nyata (teknik BEGFI-GAFETA)
(2) Teknik pengenalan Efek Benturan Dua Arus Fenomena Berlawanan Arah (Teknik EBDA-FENOBA)

Dalam memilih rumusan masalah penelitian yang akan dijadikan awal penelitian, maka perlu diperhatikan ketentuan sebagai berikut ;
Ciri-ciri pernyataan Masalah Penelitian yang baik
1) Masalah yang dipilih harus mempunya nilai penelitian
  • Masalah harus mempunyai keaslian
  • Masalah harus menyatakan suatu hubungan
  • Masalah harus merupakan hal yang penting
  • Masalah harus dapat di uji
  • Masalah harus mencerminkan suatu pertanyaan
2) Masalah yang dipilih dengan bijak, artinya :
  • Data serta metode untuk memecahkan masalah harus tersedia
  • Biaya untuk memecahkan masalah, secara relatif harus dalam batas-batas kemampuan
  • Waktu memecahkan masalah harus wajar
  • Biaya dan hasil harus seimbang
  • Administrasi dan sponsor harus kuat
  • fTidak bertentangan dengan hukum dan adat
3) Masalah dipilih dengan kualifikasi peneliti
  •   Menarik bagi peneliti
  • Masalah harus sesuai dengan kualifikasi peneliti
Seorang mahasiswa harus bersungguh-sungguh dalam upaya mengidentifikasi dan merumuskan ”masalah penelitian”. Upaya membuat skripsi atau tesis untuk gelar kesarjanaannya, tak lain mempraktekkan kegiatan penelitian secara mandiri. Ketika itu dia bertindak sebagai peneliti pemula dan ia sebenarnya sedang digodok menjadi seorang ”Problem solver” (pemecah masalah kehidupan) yang efektif.
Manfaat Penelitian Skripsi Mahasiswa yang Terbimbing Baik
1) Bagi Lembaga
  • Orisinilitas karya tulis sarjana yang ditelurkan lebih terjamin dan lebih terasakan
  • Mutu Sarjana yang diluluskan lebih tinggi dan handal
  • Kegiatan akademik di Kampus akan lebih hidup dan berbobot
2) Bagi Mahasiswa
  • Mendapat pengalaman meneliti yang berharga
  • Mendapat pembinaan diri menuju pribadi berkualitas
  • Mempersembahkan hasil karya yang dapat membanggakan
3) Bagi Dosen Pembimbing
  • Menambah penalaran ilmu khususnya pengetahuan terapan
  • Menambah khasanah data dan informasi yang terpercaya
  • Menambah tajam wawasan keilmuan dan prestasi akademik
Seperti diketahui bersama bahwa penelitian adalah merupakan bagian dari pemecahan masalah. Lalu apa sebenarnya masalah penelitian itu? Menurut Notoatmodjo (2002) masalah penelitian secara umum dapat diartikan sebagi suatu kesenjangan (gap) antara yang seharusnya dengan apa yang terjadi tentang sesuatu hal, atau antara kenyataan yang ada atau terjadi dengan yang seharusnya ada atau terjadi serta antara harapan dan kenyataan. 

Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Danim (2003) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masalah penelitian  adalah suatu kesenjangan atau diskongruensi antara kenyataan dan harapan.  Notoatmodjo (2002) menyebutkan bahwa pada hakikatnya masalah penelitian adalah segala bentuk pertanyaan yang perlu dicari jawabannya. Jika seorang dosen mau sedikit mencermati, seringkali dosen menemukan banyak sekali kesenjangan antara teori yang diajarkan di kelas dengan kenyataan yang ada di lapangan tempat praktik mahasiswa. 

Meskipun masalah penelitian itu selalu ada dan banyak, menurut Notoatmodjo (2002) belum tentu mudah mengangkatnya sebagai masalah penelitian, diperlukan kepekaan terhadap masalah penelitian. Kepekaan ini dipengaruhi oleh minat dan pengetahuan atau keahlian. Minat dan pengetahuan atau keahlian itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain :
  1. Profesi. Profesi atau bidang pekerjaan seseorang dapat menjadi sumber minat untuk melakukan penelitian. Semakin sering seseorang terpapar dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan profesinya, akan semakin mendorong orang tersebut berminat untuk menyelesaikannya.
  2. Spesialisasi. Keahlian khusus seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih peka tehadap masalah yang berkaitan dengan keahliannya. Misalnya, seorang perawat spesialis jiwa, akan lebih peka terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa pasien yang dirawatnya, meskipun pasien tersebut dirawat di rumah sakit umum dengan bukan karena gangguan jiwa. Sebagai contoh, ketika seorang pearwat spesialis jiwa, menemukan pasien yang akan dioperasi terlihat gelisah, maka dengan cepat perawat tersebut akan dapat melihat bahwa pasiennya sedang mengalami kecemasan berat.
  3.   Akademis. Seseorang yang telah mengalami program pendidikan yang lebih tinggi, biasanya telah mendalami tentang salah satu disiplin ilmu pengetahuan. Dengan penguasaan ilmu ini, orang tersebut cenderung lebih peka mengenali masalah dalam bidang keahliannya.
  4. Kebutuhan dan Praktik Kehidupan Sehari-hari. Seseorang yang cenderung menaruh perhatian akan kebutuhan dan praktik kehidupan sehari-hari akan lebih peka terhadap masalah yang muncul.
  5. Pengalaman Lapangan. Seseorang yang mempunyai banyak pengalaman lapangan akan menambah kepekaannya terhadap masalah di bidangnya.
  6. Bahan Bacaan atau Kepustakaan. Membaca dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berpikir seseorang, sehingga wawasannya akan semakin luas dan semakin mampu menggunakan penalaran dan pola berpikir kritisnya semakin berkembang. Dengan berpikir kritis ini, selanjutnya akan meningkatkan kepekaan seseorang terhadap masalah.
Memilih masalah dalam penelitian
Banyaknya masalah penelitian yang sering ditemukan dalam pelayanan keperawatan/ kebidanan, seringkali membuat seorang peneliti harus memilih masalah penelitian yang paling layak diantara beberapa masalah tersebut. Hal yang penting dijadikan pegangan dalam memilih masalah penelitian ini adalah bahwa keputusan dan penentuan terakhir adalah terletak pada peneliti itu sendiri.
 
Sebelum memilih masalah, terlebih dahulu peneliti harus menentukan topik penelitian. Untuk menentukan topik penelitian Narbuko dan Achmadi (2002) menyampaikan bahwa sebelum menentukan topik penelitian, seorang peneliti harus terlebih dahulu menanyakan pada diri sendiri tentang beberapa pertanyaan berikut :
“Apakah topik tersebut dapat dijangkaunya/ dikuasainya (manageble topic)?”
“Apakah bahan-bahan/ data-data tersedia dengan cukup (obtainable data)?”
“Apakah topik tersebut penting untuk diteliti (significancy of topic)?”
“Apakah topik tersebut menarik untuk diteliti dan dikaji (interested topic)?”
 
Setelah topik ditentukan selanjutnya peneliti harus memilih masalah penelitian yang sesuai dengan topik tersebut. Pertimbangan dalam memilih masalah penelitian agar masalah yang dipilih layak dan relevan untuk diteliti diungkapkan oleh Notoatmodjo (2002), meliputi :
 
1. Masalah masih baru
“Baru” dalam hal ini adalah masalah tersebut belum pernah diungkap atau diteliti oleh orang lain dan topik masih hangat di masyarakat, sehingga agar tidak sia-sia usaha yang dilakukan, sebelum menentukan masalah, peneliti harus banyak membaca dari jurnal-jurnal penelitian maupun media elektronik tentang penelitian terkini.
 
2. Aktual
Aktual berarti masalah yang diteliti tersebut benar-benar terjadi di masyarakat. Sebagai contoh, ketika seorang dosen keperawatan akan meneliti tentang masalah gangguan konsep diri pada pasien yang telah mengalami hemodialise berulang, maka sebelumnya peneliti tersebut harus melakukan survey dan memang menemukan masalah tersebut, meskipun tidak pada semua pasien.
 
3. Praktis
Masalah penelitian yang diteliti harus mempunyai nilai praktis, artinya hasil penelitian harus bermanfaat terhadap kegiatan praktis, bukan suatu pemborosan atau penghamburan sumber daya tanpa manfaat praktis yang bermakna.
 
4. Memadai
Masalah penelitian harus dibatasi ruang lingkupnya, tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit. Masalah yang terlalu luas akan memberikan hasil yang kurang jelas dan menghamburkan sumber daya, sebaliknya masalah penelitian yang terlalu sempit akan memberikan hasil yang kurang berbobot.
 
5. Sesuai dengan kemampuan peneliti
Seseorang yang akan melakukan penelitian harus mempunyai kemampuan penelitian dan kemampuan di bidang yang akan diteliti, jika tidak, hasil penelitiannya kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah (akademis) maupun praktis.

6. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah
Masalah-masalah yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah, undang-undang ataupun adat istiadat sebaiknya tidak diteliti, karena akan banyak menemukan hambatan dalam pelaksanaan penelitiannya nanti.
 
7. Ada yang mendukung
Setiap penelitian membutuhkan biaya, sehingga sejak awal sudah dipertimbangkan darimana asal biaya tersebut akan diperoleh. Tidak jarang masalah-masalah penelitian yang menarik akan mendapatkan sponsor dari instansi-instansi pendukung, baik pemerintah maupun swasta.
 
Desain masalah penelitian

1.      Apa masalah itu ?
Suatu kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, perundang-undangan dengan pelaksanaan, peraturan dengan implementasinya, teori dengan praktik, sehingga menarik minat dan perhatian untuk diteliti.

2.      Bagaimana cara mengadakan penelitian dalam upaya memecahkan masalah penelitian secara kuantitatif ?
Ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan penelitian yaitu sistematis, berencana dan mengikuti konsep atau prosedur ilmiah.
a.       Sistematis artinya dilaksanakan menurut pola atau aturan tertentu disusun mulai dari yang paling sederhana sampai pada masalah yang komplek sehingga tercapai tujuan penelitian secara efektif dan efisien.
b.      Berencana artinya dilaksanakan berdasarkan rencana sesuai dengan unsur-unsur masalah berbentuk langkah-langkah penelitian yang jelas.
c.       Konsep atau prosedur ilmiah artinya sejak awal menemukan masalah sampai akhir kegiatan penelitian mengikuti cara-cara yang sudah ditentukan, sesuai dengan prinsip-prinsip atau konsep-konsep penelitian ilmiah.

Masalah yang Baik untuk Diteliti
I.       Masalah yang bagaimana yang baik untuk diteliti ?
1.      Masalah yang tepat diteliti yaitu masalah yang dihadapkan pada suatu kebutuhan atau tantangan bagi peneliti.
2.      Masalah mudah dirumuskan sehingga menjadi jelas batasannya, kedudukan dan alternatif cara pemecahannya.
3.      Memiliki hipotesis yang jelas sebagai titik tolak dalam penelitian dan alternatif pemecahannya.
4.      Mudah dalam pengumpulan data untuk menguji hipotesis.
5.      Mudah dalam menarik kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data dan dikembalikan pada jawaban hipotesis yang sudah dirumuskan.
6.      Dapat memecahkan masalah yang diteliti sehingga dapat menemukan kebenaran serta implikasinya untuk memberi saran-saran agar masa depan lebih baik.

Latar Belakang Penelitian
Setelah membaca berbagai informasi tentang temuan ada kesenjangan, kemudian peneliti membeberkan masalah tersebut, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti karena :
1.      Penting untuk diteliti karena akan berimplikasi terhadap pengembangan ilmu.
2.      Dapat memperbaiki langkah pembangunan pendidikan, dan bila tidak diteliti akan berdampak semakin merosotnya mutu pendidikan.
3.      Cara mengungkapkan masalah atau gejala kesenjangan di lapangan disusun seperti kerucut terbalik.
4.      Diuraikan dengan jelas kedudukan ilmu yang diteliti dan hubungannya dengan masalah di lapangan.
5.      Berhubungan dengan wilayah ilmu yang sedang ditekuni.
6.      Menguraikan teori, peraturan, perundang-undangan dengan kondisi lapangan pendidikan sehingga tampak jelas adanya kesenjangan.

Fungsi Studi Pendahuluan, Anggapan Dasar dan Hipotesis
Apa peranan atau fungsi Studi Pendahuluan, Anggapan Dasar dan Hipotesis itu ?
1.      Studi Pendahuluan
Untuk memperjelas masalah dan menjajagi kemungkinan apakah masalah ini dapat diteliti atau tidak.
Menurut Winarno Surakhmad, studi pendahuluan atau eksplotaris, fungsinya untuk mencari informasi yang diperlukan oleh peneliti agar masalah yang akan diteliti lebih jelas kedudukannya.
2.      Anggapan Dasar, suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang berfungsi sebagai titik tolak pemikiran atau tempat berpijak awal pemikiran dalam penelitian. Misalnya kita akan meneliti tentang kinerja guru. Peneliti bertolak dari anggapan dasar bahwa kinerja guru adalah berbeda-beda, karena itulah kinerja guru yang berbeda merupakan variabel yang bisa diteliti.
3.      Hipotesis
Jika anggapan dasar merupakan dasar pemikiran awal tentang masalah yang akan diteliti, maka hipotesis merupakan dugaan sementara kebenaran penelitian yang perlu diuji. Jadi hipotesis untuk mengarahkan peneliti agar pemecahan masalahnya terfokus pada pengujian dugaan sementara atau hipotesis.

Merumuskan Judul Penelitian
Ada dua pendapat tentang perumusan judul penelitian
1.      Pendapat pertama :
Judul penelitian ditulis selengkap mungkin sehingga dengan membaca judul dapat diketahui alur pikir peneliti dan tergambar kegiatannya.
2.      Pendapat kedua :
Judul penelitian sebaiknya sesingkat mungkin. Jika pembaca ingin tahu alur pikir peneliti dan gambaran kegiatan penelitian dapat membaca penjelasan bagian lain.
3.      Judul Penelitian mencakup
a.       Sifat dan jenis penelitian
b.      Objek yang diteliti
c.       Subjek penelitian
d.      Lokasi / daerah penelitian
e.       Tahun / waktu penelitian
4.      Syarat Judul Penelitian
a.       Judul harus sesuai dengan minat peneliti dan mencerminkan masalah yang diteliti.
b.      Judul harus mudah diimplementasikan dan komponen-komponennya jelas.
c.       Harus tersedia faktor pendukung
d.      Judul harus mencerminkan manfaat hasil.
Cara Perumusan Masalah
1.      Menguraikan masalah utama sesuai dengan latar belakang penelitian dan judul penelitian. Alangkah baiknya apabila peneliti mampu membuat definisi atau rumusan masalah.
2.      Menyusun masalah yang akan diteliti yang dijadikan fokus atau pokok-pokok penelitian sesuai dengan urutan judul penelitian.
3.      Setiap pokok penelitian erat hubungannya dengan variabel yang diteliti, serta kaitan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya secara rasional dan proporsional.
4.      Pokok-pokok yang akan diteliti diungkapkan berbentuk kalimat tanya.
5.      Setiap pokok penelitian merupakan definisi operasional variabel.
6.      Setiap variabel yang diteliti harus jelas menggambarkan objek yang diteliti.
7.      Dari setiap indikator yang diteliti harus disesuaikan dengan jenis instrumen penelitian yang bisa mengungkap masalah yang dicari jawabannya.
8.      Jawaban penelitian sesuai dengan jenis penelitian apakah penelitian kualitatif atau penelitian kuantitatif.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, sebelum melakukan pemilihan masalah penelitian, maka peneliti harus menjawab beberapa pertanyaan berikut agar masalah yang diteliti layak dan relevan (Notoatmodjo, 2002):
  1. Apakah masalah yang akan diteliti merupakan masalah yang sedang hangat di dalam masyarakat saat ini?
  2. Apakah masalah tersebut benar-benar aada di dalam masyarakat?
  3. Sejauh mana masalah tersebut dirasakan? Apakah penduduk atau masyarakat merasakan masalah tersebut?
  4. Apakah masalah tersebut mempengaruhi kelompom tertentu, misalnya ibu hamil, bayi, atau anak balita?
  5. Apakah masalah tersebut berhubungan dengan masalah sosial, kesehatan ataau ekonomi yang luas?
  6. Apakah masalah tersebut berhubungan dengaan kativitas program yang sedang berjalan?
  7. Siapa lagi yang tertarik atau terlibat dalam masalah tersebut?
Dengan beberapa pertimbangan dan pertanyaan tersebut, diharapkan akan dapat dirumuskan masalah penelitian yang layak dan relevan, sehingga masalah penelitian memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun aplikatif.

Tipe Masalah Penelitian
• Masalah dalam lingkungan organisasi
• Masalah dalam area tertentu suatu organisasi.
• Persoalan teoritis untuk menjelaskan fakta.
• Peramasalahan yang perlu jawaban empiris.

Kriteria Masalah
• Merupakan Bidang masalah dan topik yang menarik.
• Signifikansi secara teoritis dan praktis.
• Dapat diuji melalui pengumpulan data dan analisis data.
• Sesuai dengan waktu dan biaya.

Sumber Penemuan Masalah
• Kajian teoritis
• Kajian Empiris

Perumusan Masalah
• Rumusan harus jelas dan tegas.
• Tidak ambiguitas
• Mengekspresikan hubungan antara dua variabel atau lebih.

Kajian Teori Dan Riset Terdahulu
• Teori itu penting sebagai orientasi yang membatasi jumlah fakta yang harus dipelajari.
• Teori memberikan pedoman yang dapat memberikan hasil terbaik.
• Teori memberikan sistem mana yang harus dipakai dalam mengartikan data yang tepat.
• Tori dapat digunakan untuk memprediksi fakta-fakta.

Pengertian Teori
Kumpulan konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang menggambarkan fenomena secara sistematis melalui penentuan hubungan antar variabel dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena.

Tiga Hal pokok Dalam teori
• Elemen teori terdiri dari konstruk, konsep dan proposisi.
• Memberikan gambaran sistematis mengenai fenomena melalui hubungan antar variabel.
• Tujuan teori adalah menjelaskan dan memprediksi fenomena alam.


 # VARIABEL PENELITIAN.

Sering diartikan sebagai: “konsep yang mempunyai variabilitas”. Konsep diberi pengertian sebagai: “penggambaran atau abstraksi dari suatu fenomena tertentu”. Contoh: konsep tentang: gizi, sehat, sakit, kesuburan, dll

Tak kalah penting setelah memahami masalah penelitian tentu saja akan menghasilkan sebuah variabel penelitian. Mungkin banyak kasus, setiap kali mengajukan judul skripsi ke dosen, atau proposal, maka kita akan ditanya, variabelnya apa? Atau variabel bebasnya apa, variabel terikatnya apa? Jadi kesimpulanya, kata variabel sudah sangat akrab dengan kita-kita, meskipun, sorry ya, mungkin ada yang belum ngeh dengan pengertian tentang variabel. Kadang anda mengerti tapi sulit menjelaskan kepada dosen anda (ini kata halus dari anda tidak donk!!).
 
Secara singkat, variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati. Tentunya banyak pengertian lain, tapi sepertinya pengertian itu sudah cukup. Menurut Suharsimi Arikunto (1998:99) variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Hajar (1999:156) yang mengartikan variabel adalah objek pengamatan atau fenomena yang diteliti. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi (1982:437) variabel adalah semua keadaan, faktor, kondisi, perlakuan, atau tindakan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen.
 
Di sini akan diuraikan berbagai jenis variabel yang sering dijumpai dalam suatu penelitian. Penelitian anda, paling hanya memuat satu, dua, atau paling tiga dari jenis variabel di bawah. Tapi kalau ada empat atau lebih, wah, ada dua kemungkinan. Anda benar-benar jenius, dan kemungkinan kedua, anda benar-benar tidak mudeng, sehingga tidak tahu risikonya kalau memilih jenis variabel terlalu banyak.

1. Variabel independen
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab atau berubahnya suatu variabel lain (variabel dependen). Juga sering disebut dengan variabel bebas, prediktor, stimulus, eksougen atau antecendent.

2. Variabel dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel lain (variabel bebas). Juga sering disebut variabel terikat, variabel respons atau endogen. Variabel inilah yang sebaiknya anda kupas dalam-dalam pada latar belakang penelitian. Berikan porsi yang lebih dalam membahas variabel terikat dari pada variabel bebasnya karena merupakan implikasi dari hasil penelitian.

3. Variabel Moderating
Variabel moderating adalah variabel yang memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sekali lagi, memperkuat atau memperlemah. Variabel moderating juga sering disebut sebagai variabel bebas kedua dan sering dipergunakan dalam analisis regresi linear, atau pada structural equation modeling. Sebagai contoh, hubungan ayah dan ibu akan semakin mesra dengan adanya anak. Jadi anak merupakan variabel moderating antara ayah dan ibu. Atau, selingkuhan merenggangkan hubungan ayah dan ibu, jadi selingkuhan merupakan variabel moderating antara ayah dan ibu.

4. Variabel intervening
Adalah variabel yang menjadi media pada suatu hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sebagai contoh, prestasi kerja pengaruh ibu terhadap ayah akan semakin kuat setelah berkeluarga. Jadi keluarga merupakan media bagi ibu dalam pengaruhnya terhadap ayah.

5. Variabel kontrol
Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan, atau dijadikan acuan bagi variabel yang lain. Misalnya variabel kecepatan menulis murid-murid suatu sekolah, yang diukur dan dibandingkan kecepatan menulis murid sekolah lain.


Secara garis besar, hanya ada dua jenis variabel: yaitu variabel yang mempengaruhi dan variabel yang dipengaruhi (Pratiknya, 2003).
  • Variabel bebas: (disebut juga variabel pengaruh, variabel perlakuan, penyebab, treatment, dan sebagainya), adalah variabel yang bila dalam suatu saat berada bersama variabel lain, variabel yang terakhir ini berubah (atau diduga berubah) dalam variasinya.
  • Variabel tergantung: variabel yang berubah karena variabel bebas (disebut juga variabel terpengaruh, variabel tak bebas/ terikat, efek, dan sebagainya
Sebagai bentuk lain dari variabel bebas, dikenal pula istilah variabel perantara, variabel pendahulu, dan variabel prakondisi.
  • Variabel perantara: disebut juga sebagai variabel penghubung, ialah variabel yang menjembatani pengaruh suatu variabel bebas dengan variabel tergantung.Contoh: penyakit cacing (variabel bebas) akan mempengaruhi terjadinya anemi (variabel tergantung) dengan melalui mekanisme perdarahan kronis saluran cerna (variebel perantara).
  • Variabel pendahulu: ialah variabel bebas yang berpengaruh pada pada variabel tergantung, tetapi sekaligus juga berpengaruh pula pada variabel lain yang juga berperan sebagai variabel bebas terhadap variabel tergantung tersebut. Contoh:  tingkat pendidikan (variabel pendahulu) mempengaruhi penerimaan terhadap cara pengobatan modern (variabel bebas).  Penerimaan terhadap cara pengobatan moderen mempengaruhi kepercayaan terhadap cara pengobatan tradisional (variabel terikat).
  • Variabel prakondisi: ialah variabel yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi bekerjanya suatu variabel bebas terhadap variabel tergantung. Contoh: mikobakterium tuberkulosis (variabel bebas) dapat menyebabkan tbc paru (variabel tergantung) bila individu berada dalam kondisi fisik yang lemah (variabel prakondisi)

Korelasi antar variabel
  • Korelasi Simetris:  antar dua variabel ada hubungan, tetapi tidak mekanisme pengaruh-mempengaruhi, masing-masing bersifat mandiri.  Korelasi simetris terjadi karena:
  1. Kebetulan
  2. Sama-sama merupakan akibat dari faktor (variabel bebas) yang sama (misal: hubungan antara tinggi dan berat badan, merupakan variabel tergantung dari variabel bebas pertumbuhan.
  3. Merupakan indikator konsep yang sama (misal: hubungan antara “kekuatan” kontraksi otot dan “ketahanan” kontraksi otot yang merupakan indikator “kemampuan” kontraksi otot.
  • Korelasi Asimetris: korelasi antar dua variabel, dengan satu variabel bebas bersifat mempengaruhi variabel tergantung. Contoh: tingginya kadar lipoprotein berat jenis rendah (Low density lipoprotein) dalam darah akan mengakibatkan aterosklerosis.
  • Korelasi Timbal balik (reciprocal): korelasi antara dua variabel, yang antar keduanya saling pengaruh mempengaruhinya. Contoh:  korelasi antara malnutrisi dengan malabsorbsi.  Malabsorbsi akan mengakibatkan malnutrisi, sementara malnutrisi mengakibatkan atropi selaput lendir usus yang mengakibatkan malabsorbsi
Skala pengukuran variabel
Berdasarkan tingkat pengukuran (level of measurement), secara umum dikenal ada dua macam variabel penelitian, yaitu variabel diskrit dan variabel kontinum: (Pratiknya, 2003)

1.  Variabel diskrit (Variabel Nominal) / Skala Nominal
Variabel yang variasinya tidak menunjukkan perurutan atau kesinambungan.  Tiap variasi berdiri sendiri atau terpisah. Contoh:
  • Golongan darah
  • Jenis penyakit
  • Jenis kelamin
  • Agama
  • Suku
2.  Variabel kontinum
Variabel yang variasi nilainya merupakan perurutan atau kontinuitas satu dengan yang lain.  Berdasarkan kontinuitas ini variasi ini, variabel kontinuum dibagi menjadi 3 macam: Ordinal, Interval, dan Rasio.

Variabel Ordinal/ Skala Ordinal
Variabel yang batas satu variasi nilai ke variasi nilai yang lain tidak jelas, sehingga yang dapat dibandingkan hanyalah nilai tersebut lebih tinggi, sama, atau lebih rendah daripada nilai yang lain.  Sementara “jarak”  atau interval antara nilai tersebut tidak dapat dibandingkan.  Contoh:
  • Tingkat pendidikan atau kekayaan
  • Tingkat keparahan penyakit
  • Tingkat kesembuhan
  • Derajat keganasan kanker
Variabel Interval/ Skala Interval
Variabel yang batas variasi nilai satu dengan yang lain jelas, sehingga jarak atau intervalnya dapat dibandingkan.  Nilai variasi dapat dibandingkan seperti pada variabel ordinal (sama, lebih besar, atau lebih kecil),  tetapi nilai mutlaknya tidak dapat dibandingkan secara matematik, oleh karena batas-batas variasi nilai pada interval adalah arbitrer (angka nolnya tidak absolut).
 Contoh Skala Interval:
  • Suhu
  • Tingkat kecerdasan (IQ)
  • Beberapa indeks pengukuran tertentu

Variabel Rasio/ Skala Rasio
Variabel yang disamping interval jelas batasnya, juga variasi nilainya mempunyai batas yang tegas dan mutlak (titik nolnya absolut).  Contoh:
  • Panjang, berat badan, usia
  • Kadar zat dan jumlah sel tertentu
  • Dosis obat, dll
Skala pengukuran variabel penting untuk penentuan uji statistik yang sesuai: skala nominal dan ordinal hanya bisa menggunakan uji statistik non parametrik, sedangkan skala interval dan rasio bisa menggunakan statistik parametrik.

Definsi operasional
  • Konsep-konsep yang sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional, yakni, variabel dan konstruk, biasanya belum sepenuhnya siap untuk diukur.
  • Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.
  • Definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel.
  • Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin mengukur variabel yang sama

Contoh:
Variabel = pendidikan. Definisi operasional:adalah pendidikan formal keperawatan tertinggi yang pernah ditamatkan oleh perawat pada saat mengisi kuesioner penelitian ini.
Cara dan alat ukur        : wawancara dengan kuesioner
Hasil ukur                     : 1 = lulus SPK, 2 = lulus Akper
Skala ukur                    : Ordinal

 Sutrisno Hadi (1982:437) membedakan variabel menjadi dua yaitu:
a.    Variabel Eksperimen atau treatment variabel yaitu kondisi yang hendak diselidiki bagaimana pengaruhnya terhadap gejala atau behaviour variable
b.   Variabel non eksperimental yaitu variabel yang dikontrol dalam arti baik untuk kelompok eksperimental

Sedangkan Suharsimi Arikunto (1998:101) membedakan variabel menjadi dua yaitu variabel yang mempengaruhi disebut variabel penyebab, variabel bebas, atau independent variabel (X), dan variabel akibat yang disebut variabel tak bebas, variabel tergantung, variabel terikat, atau dependent variabel (Y).

Penelitian merupakan kegiatan menguji hipotesis, yaitu menguji kecocokan antara teori dengan fakta empirik di dunia nyata. Hubungan nyata ini lazim dibaca dan dipaparkan dengan bersandar kepada variabel, sedangkan hubungan nyata lazim dibaca dengan memperhatikan data tentang variabel itu.
 
Variabel adalah suatu sebutan yang dapat diberi nilai angka (kuantitatif) atau nilai mutu (kualitatif). Variabel merupakan pengelompokan secara logis dari dua atau lebih atribut dari objek yang diteliti. Atribut itu misalnya : Tidak sekolah, tidak tamat SD, tidak tamat SMP. Maka variabelnya adalah tingkat pendidikan dari objek penelitian itu. Variabel tingkat pendidikan merangkum semua atribut tadi.
 
Variabel merupakan suatu istilah yag berasal dari kata vary dan able yang berarti “berubah” dan “dapat”. Jadi kata variabel berarti dapat berubah. Oleh sebab itu setiap variabel dapat diberi nilai, dan nilai itu berubah-ubah. Nilai itu berupa nilai kuntitatif maupun kualitatif. Ukuran kuantitatif maupun kualitatif suatu variabel adalah jumlah dan derajat atributnya.
 
Dilihat dari segi nilainya, variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel diskrit dan variabel kontinu.. Variabel diskrit nilai kuantitatifnya selalu berupa bilangan bulat, Variabel kontinu nilai kuantitatifnya bisa berupa pecahan. Apabila diambil dua bilangan bulat yang wajar sebagai nilai variabel, terdapat tak hingga banyaknya angka-angka yang mungkin menjadi nilai dari variabel yang sedang diukur itu. Ini jika digambarkan akan memberi kesan bahwa nilai-nilai variabel itu bersambung atau kontinu.
 
Data adalah hasil pengukuran atau penghitungan nilai-nilai suatu variabel. Yang dimaksud dengan pengolahan data pada prinsipnya adalah upaya penyajian dan pembacaan hubungan-hubungan yang ada antarvariabel. Menurut Narbuko dan Ahmadi, hubungan antarvariabel dapat berupa: (a) Hubungan simetris, yaitu hubungan variabel yang satu tidak disebabkan oleh yang lainnya. (b) Hubungan timbal balik, yaitu hubungan suatu variabel dapat menjadi sebab dan akibat dari variabel lainnya, (c) Hubungan asimetris, yaitu hubungan variabel satu mempengaruhi variabel lainnya..
 
Yang termasuk hubungan variabel simetris: Pertama, kedua variabel merupakan indikator dari sebuah konsep yang sama. Misalnya: Kalau “mengerjakan cepat selesai” sedang “hasilnya tepat”, maka kedua variabel tersebut merupakan indikator dari seorang yang intelegen”. Hal ini dapat diartikan kalau “karena cepat” lalu “hasilnya tepat” atau sebaliknya; “jantung yang berdenyut semakin cepat sering dibarengi keluarnya keringat tanda kecemasan“ namun demikian, tidak kdapat dikatakan “jantung yang berdebar cepat menyebabkan tangannya berkeringat” dan sebagainya.
 
Kedua, variabel merupakan akibat dari suatu faktor yang sama; meningkatkan pelayanan kesehatan dibarengi pula dengan bertambahnya pesawat udara. Kedua variabel tidak saling mempengaruhi, tetapi keduanya merupakan akibat dari peningkatan pendapatan. Ketiga, kedua variabel lsaling berkaitan secara fungsional, “dimana yang satu beradayang ;lainnya pun pasti di sana”. “Di mana ada guru, di sana ada murid”, di mana ada majikan, di sana ada buruh”. Kemmpat, “hubungan yang kebetulan semata-mata”. Seorang bayi ditimbang lalu mati keesokan harinya. Berdasarkan kepercayaan, kedua peristiwa tersebut dianggap berkaitan, tetapi di dalam penelitian empiris tidak dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut meninggal karena ditimbang.
 
Hubungan timbal balik disini bukanlah hubungan, di mana tidak dapat ditentukan variabel yang menjadi sebab dan variabel lyang menjadi akibat. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah apabila suatu waktu, variabel x mempengaruhi variabel Y, sedang pada waktyu yang lain, variabel Y mempengaruhi variabvel X. Contohnya “ penanaman modal mendatangkan keuntungan dan pada gilirannya keuntungan akan memungk9nkan penanaman modal. Jelasnya: ‘variabel terpengaruh dapat menjadi variabel pengaruh”.
 
Dalam hubungan asimetris ini ada beberapa ketentuan hubungan sebagai berikut: Pertama, hubungan antara stimulus dan respons. Hubungan yang demikian itulah merupakan salah satu hubungan kausal, yang lazim dipengaruhi para ahli. Contonya, seorang insinyur pertanian mengamati adanya pengaruh pupuk terhadap buah yang dihasilkannya; seorang psikolog meneliti pengaruh kerasnya musik terhadap tingkah konsentrasi. Seorang pendidik mengamati pengaruh metode mengajar terhadap prestasi belajar para siswa.
 
Kedua, hubungan antara disposisi dan respon. Disosisi adalah kecenderungan untuk menunjukkan respons t ertentu dalam situasi tertentu, bila ‘stimulus” datangnya pengaruh dari luar dirinya, sedangkan “disposisi” berada dalam diri seseorang. Contoh: Sikap kebiasaan, nilai, dorangan, kemampuan, dan lain sebagainya. Suatu respon sering diukur dengan mengamati tingkah laku seseorang, misalnya: pemakaian konstrasepsi, migrasi, perilaku inivasi dan sebagainya.. Ketiga hubungan antara diri individu dan disosisi atau tingkah laku. Artinya ciri di sini adalah sifat individu yang relatif tidak berubah dan tidak dipengaruhi lingkungan, seperti seks, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan, dan lain-lain.
 
Keempat, hubungan antara parekondisi yang perlu dengan akibat tetentu. Contoh: agar pedagang kesil dapat memperluas usahanya diperlukan antara lain persyaratan pinjaman bank yang lunak, hubungan antara kerja keras dengan keberhasilan jumlah jam belajar dengan nilai yang diperoleh. Kelima, hubungan yang imanen antara dua variabel. Di dalam hubungan ini terdapat jalinan yang erat antara variabel satu dengan variabel yang lain. Jelasnya: apabila variabel yang satu berubah, maka variabel yang lain ikut berubah. Contonya hubungan antara semakin besarnya syatu organisasi dengan semakin rumitnya peraturan yang ada. Keenam, hubungan antara tujuan (ends) dan cara (means). Contonya: penelitian tentang hubungan antara kerja keras dan keberhasilan. Jumlah jam belajar dengan nilai yang diperoleh pada waktu ujian, besarnya penanaman modal dengan hasil keuntungan..
 
Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel adalah penting bagi setiap penelitian sosial, karena dengan pengukuran itu penelitian dapat menghubungan kosep yang abstrak dengan realitas. Proses pengukuran mengandung empat kegiatan pokok sebagai berikut: Pertama, menentukan indikator untuk dimensi-dimensi variabel penelitian.. Variabel penelitian sosial pada umumnya memiliki lebih dari satu dimensi. Semakin lengkap dimensi yang digunakan dari satu variabel yang dapat diukur akan semakin baik hasil pengukurannya. Kedua menentukan masing-masing dimensi. Ukunan ini dapat berupa item (pertanyaan) yang relevan dengan dimensinya. Ketiga, menentukan ukuran yang akan digunakan dalam pengukuran apakah tingkat ukuran nominal oardinal, interval atau rasio. Keempat, menguji tingkat validitas dan areliabilitas sebagai kriteria alat pengukuran yang baik. Alat pengukur yang baik, apabila alat itu dapat mengungkap relaita itu dengan tepat.
Merumuskan definisi operasional variabel-variabel.
 
Setelah variabel-variabel diidentifikasikan, dan diklasifikasikan, maka variabel-variabel tersebut perlu didefinisikan secara operasional (Bridgman, 1972). Penyusunan definisi operasional ini perlu, karena difinisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data, mana yang cocok untuk dipergunakannya. Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan, yang dapat diamati (diobservasi), konsep yang dapat diamati, atau diobservasi merupakan hal sangat penting, karen hal yang dapat diamati itu embuka kemungkina bagi oarang lain, selain peneliti sendiri uantuk dilaksanakan, juga oarang lain dapat melakukan hal yang serupa, sehingga apa yang dilakukan oleh peneliti terbuka untuk kdiuji kembali oleh oarang lain.
 
Cara menyususn definisi operasional dapat bermacam-macam, yaitu: (1) yang mnekankan kegiatannya, apayang perlu dilakukan. Contoh frustasi adalah keadaan yang timbul sebagai akibat tercegahnya pencapaian hal sangat diinginkan yang sudah hampir tercapai. Lapar adalah keadaan individu yang timbul setelah ia tidak makan selama 24 jam. Definisi ini adalah yang menekankan perasi atau manipulasi apa yang harus dilakukan untuk menghasilkan keadaan atau hal yang didefinisikan, terutama berguna untuk mendefinisikan “variabel bebas”. (2) yang menekankan bagaimana kegiatan itu dilakukan. Conto: orang cerdas adalah orang yang tinggi kemampuannya dalaml memecahkan masalah, tinggi kemampuannya dalam menggunakan bahasa dan bilangan. Dosen yang otoriter adalah dosen yang menuntut mahasiswanya melakukn hal lyang dapat seperti yang digariskannya, suka memberi komando, dan mengutamakan khubungan formal dengan mahasiswanya. (3) yang menekankan sifat-sifat statis hal yang didefinisikan. Contoh: mahasiswa yang cerdas yaitu mahasiswa yang m,empunyai ingatan yang baik, mempunyai perbendaharaan yang baik, mempunyai perbendaharaan kata yang luas, mempunyai kemampuan berpikir baik, mempunyai kemampuan berhitung baik.
 
Ekstraversi adalah kecenderungan lebih suka ada dalam kelompok daripada seorang diri. Setelah membuat definisi operasional sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas, selanjutnya poeneliti menunjuk kepada “alat” yang dipergunakan untuk mengambil data-datanya. Setelah definisi operasional variabel-variabel penelitian selesai dirumuskan, maka prediksi yang terkandung dalam hipotesis telah dioperasionalisasikan. Jadi peneliti telah meneliti prediksi tentang kaitan berbagai variabael penelitiannya itu secara oprasional dan siap diuji melalui data empiris.
 
Variabel Antara
Setelah asumsi dasar di dalam ilmu pengetahuan adalah, bahwa gejala sesuatu harus ada sebab musababnya dan tidak begitu saja terjasdi dengan sendirinya. Khusus di dalam ilmu sosial, setiap fenomena dipengaruhi oleh serangkaian sebab musabab. Oleh katrena itu setiap kita menentukan sebab dari suatu fenomena, selalu akan timbul pertanyaan, apakah sebab yang l;ainnya? Apakah sebab yang pertama berpengaruh langsung pada fenomena tersebut, ataukah tidak langsung dan melalui sebab yang lainnya? Pertanyaan yang terkhir ini mengantarkan kitra ke suatu faktor penguji yang penting, yaitu “variabel antara”.
 
Untuk mengatur rangkaian sebab musabab suatu fenomena, tentu saja lewat pengamatan serta akal sehatlah di samping teori-teori yang menjadi pedoman. Namun, di dalam arangkaian sebab akibat itu, suatu variabel akan disebut “variabel antara” apabila, dengan masuknya variabel tersebut hubungan statistik yang mula nampak antara dua variabell menjadi lemah atau bahkan lenyap. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang semula nampak antara kedua variabel pokok bukanlah suatu hubungan yang langsung, tetapi melalui hubungan variabel yang lain. (Danim menyebut variabel pengaruh adalah variabel bebas, variabel terpengaruh adalah variabel terikat) Realilta hubungan antara dua variabel sebenarnya merupakan penggalan dari sebuah jalinan sebab akibat yang cukup panjang. Oleh karena itu, setiap usaha untuk mencari jalinan yang lebih jauh, seperti halnya dengan variabel antisenden – akan memperkaya pengertian kita tentang fenomena yang sedang diteliti.
Kerangka teori serta akal sehatlah yang pertama-tama menentukan apakah suatu variabel dapat dipertimbangkan sebagai variabel anteseden. Untuk dapat diterima sebagai variabel anteseden, syarat-syaratnya sebagai berikut: (a) ketika variabel harus saling berbubungan: variabel anteseden dan variabel pengaruh, variabel anteseden dan variabel terpengaruh, variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. (b) apabila variabel anteseden dikontrol, hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh tidak lengkap. Dengan kata lain: variabel anteseden tidak mempengaruhi hubungan antara kedua variabel pokok, (c) apabila variabel pengaruh dikontrol, hubungan antara variabel anteseden dan variabel lterpengaruh harus lengkap. (Masri Singarimbun, 1982).
 
Kesimpulan
Variabel penelitian ditentukan oleh landasan teoritisnya dan kejelasannya ditegaskan oleh hipoteses penelitian. Menurut fungsinya variabel penelitian dibedakan menjadi: Variabel tergantung (terikat), variabel bebas, variabel intervening, variabel moderator, variabel kendali, dan variabel rambang.
 
Sedang menurut datanya, variabel penelitian dapat dibedakan menjadi: variabel nominal, variabel ordinal, variabel interval, dan variabel rasio. Variabel menurut nilainya dibedakan menjadi variabel diskrit dan variabel kontinu.
 

#PARADIGMA PENELITIAN

            Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
            Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh

B. Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Sosial

            Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
            Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda
Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada perbedaan produk pengetahuan. Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level yaitu pada; penjernihan epistemologi, level “middle range” teori, khususnya dalam menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis; dan tingkat metode dan teknik
Hampir semua disiplin ilmu menghadapi persoalan keragaman paradigma, terlebih lagi bidang ilmu-ilmu sosial. Sosiologi, misalnya, dapat didekati dari berbagai macam paradigma (multi paradigma). Dalam Sosiologi dikenal sejumlah paradigma sosiologi yang cukup dominan, antara lain Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Keragaman paradigma ini sudah jelas memunculkan sejumlah pendekatan yang berlainan terhadap suatu obyek, baik dalam mendefinisikan hakikat obyek itu sendiri, maupun dalam cara menganalisisnya --yang hasilnya sudah dapat dipastikan akan berbeda antara satu sama lain.

 

C. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif

            Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with ultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
            Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
1.      Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.
Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif
Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya,  cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.
Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization) Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai  adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.
2.      Paradigma Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit
      Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku
      Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.
      Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan  sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.
      Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
      Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
      Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis
 
D. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif
            Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup beberapa hal:

KUANTITATIF

1.      Positivistik
2.      Deduktif-Hipotetis
3.      Partikularistik
4.      Obyektif
5.      Berorientasi kpd hasil
6.      Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam

KUALITATIF

1.      Fenomenologik
2.      Induktif
3.      Holistik
4.      Subyektif
5.      Berorientasi kpd proses
6.      Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological

            Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
Paradigma Kuantitatif

Paradigma Kualitatif

1.      Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.
2.      Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.
3.      Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
4.      Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.

5.      Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.

6.      Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).
7.      Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).


8.      Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.

9.      Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.
1.      Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
2.      Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala (fenomenologis).




3.      Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).



4.      Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.
5.      Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
6.      Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
7.      Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
8.      Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.
9.      Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).
            

Daftar Pustaka
Bridgman, P. W. 1972. The Logic of Modern Physics. New York: M.C. Milan
Danim, S. 2007. Metode Penelitian: Untuk Ilmu-Ilmu Perilaku> Jakarta: Bumi Aksara
Narbuko, C. dan Ahmadi, A. 2007. Metodologi Penelitian: Memberi Bekal Teoritis kepada Mahasiswa tentang Metodologi Penelitian serta Diharapkan dapat Melaksanakan Penelitian dengan Langkah-Langkah yang Benar. Jakakrta Bumi aksara
Singarimbun, Masri. 1984. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Narbuko, A. dan Achmadi, A. 2002. Metodologi Penelitian. Edisi I. Jakarta: PT Bumi Aksara
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi (Cetakan Kedua). Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan Lainnya:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *