Karena paradigma, proses, metode, dan
tujuannya berbeda, penelitian kualitatif memiliki model desain yang
berbeda dengan penelitian kuantitatif. Tidak ada pola baku tentang
format desain penelitian kualitatif, sebab; (1) instrumen utama
penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri, sehingga masing-masing
orang bisa memiliki model desain sendiri sesuai seleranya, (2) proses
penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga sulit untuk dirumuskan
format yang baku, dan (3) umumnya penelitian kualitatif berangkat dari
kasus atau fenomena tertentu, sehingga sulit untuk dirumuskan format
desain yang baku.
Namun demikian, dari pengalaman beberapa
kali melakukan penelitian kualitatif format berikut, penulis
menggunakan format berikut untuk dipakai sebagai contoh yang bisa
dikembangkan lebih lanjut.
B. CONTOH PROSES PENELITIAN KUALITATIF
Proses penelitian disajikan menurut
tahap-tahapnya, yaitu: (1) Tahap Pra-lapangan, (2) Tahap Kegiatan
Lapangan, dan (3) Tahap Pasca-lapangan.
1. Tahap Pra-lapangan
Beberapa kegiatan dilakukan sebelum
peneliti memasuki lapangan. Masing-masing adalah: (1) Penyusunan
rancangan awal penelitian, (2) Pengurusan ijin penelitian, (3)
Penjajakan lapangan dan penyempurnaan rancangan penelitian,(4) Pemilihan
dan interaksi dengan subjek dan informan, dan (5) Penyiapan piranti
pembantu untuk kegiatan lapangan.
Perlu dikemukakan, peneliti menaruh
minat dan kepedulian terhadap gejala menglaju dan akibat-akibat
sosialnya. Pengamatan sepintas sudah dilakukan jauh sebelum rancangan
penelitian disusun dan diajukan sebagai topik penelitian.
Berbekal pengamatan awal dan telaah
pustaka, peneliti mengajukan usulan penelitian tentang mobilitas
penduduk dan perubahan di pedesaan. Usulan yang diajukan dan
diseminarkan dengan mengundang teman sejawat dan pakar.
Karena berpendekatan kualitatif, usulan penelitian itu dipandang bersifat sementara (tentative).
Karena itu peluang seminar digunakan untuk menangkap kritik dan
masukan, baik terhadap topik maupun metode penelitian. Berdasarkan
kritik dan masukan tersebut, peneliti membenahi rancangan penelitiannya
dan melakukan penjajakan lapangan.
Penjajakan lapangan dilakukan dengan
tiga teknik secara simultan dan lentur, yaitu (a) pengamatan; peneliti
mengamati secara langsung tentang gejala- gejala umum permasalahan,
misalnya arus menglaju pada pagi dan sore hari, (b) wawancara; secara
aksidental peneliti mewawancari beberapa informan dan tokoh masyarakat,
(c) telaah dokumen; peneliti memilih dan merekam data dokumen yang
relevan, baik yang menyangkut Bandulan maupun Kotamadya Dati II Malang.
Perumusan masalah dan pemilihan metode penelitian yang lebih tepat dilakukan lagi berdasarkan penjajakan lapangan (grand tour observation). Sepanjang kegiatan lapangan, ternyata pusat perhatian dan teknik-teknik terus mengalami penajaman dan penyesuaian.
Dalam ungkapan Lincoln dan Guba (1985:
208), kecenderungan rancangan penelitian yang terus-menerus mengalami
penyesuaian berdasarkan interaksi antara peneliti dengan konteks ini
disebut rancangan membaharu (emergent design).
Berdasarkan penjajakan lapangan,
peneliti menetapkan tema pokok penelitian ini, yaitu: perubahan sosial
di mintakat penglaju (commuters' zone). Pusat perhatian diberika pada
peran penglaju dalam perubahan sosial di Bandulan, Kecamatan Sukun,
Kotamadya Malang.
Secara rinci pusat perhatian ini
mencakup beberapa pertanyaan sebagaimana diajukan dalam bab pendahuluan,
yaitu: (1) Faktor apa saja, baik dari dalam diri, dari dalam desa,
maupun dari luar desa, yang mendorong perilaku menglaju pada sebagian
penduduk Bandulan? Apakah makna menglaju sebagaimana dihayati oleh
mereka?, (2) Bagaimanakah ragam gaya hidup, pola interaksi sosial,
solidaritas dan peran sosial masing-masing kategori empiris penduduk
dalam perubahan sosial di Bandulan?, dan (3) Akibat-akibat sosial apa
saja yang terjadi karena banyaknya penduduk yang menglaju ke luar
Bandulan, baik pada sistem nilai dan kepercayaan, pranata sosial dan
ekonomi, dan pola pelapisan sosial sebagaimana dirasakan oleh masyarakat
setempat?
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Sepanjang pelaksanaan penelitian,
ternyata penyempurnaan tidak hanya menyangkut pusat perhatian
penelitian, melainkan juga pada metode penelitiannya. Bogdan dan Taylor
(1975:126) memang menegaskan agar para peneliti sosial mendidik
(educate) dirinya sendiri. "To be educated is to learn to create a new. We must constantly create new methods and new approaches".
Konsep sampel dalam penelitian ini
berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu
yang dapat memberikan informasi mantap dan terpercaya mengenai
unsur-unsur pusat perhatian penelitian.
Pemilihan informan mengikuti pola bola
salju (snow ball sampling). Bila pengenalan dan interaksi sosial dengan
responden berhasil maka ditanyakan kepada orang tersebut siapa-siapa
lagi yang dikenal atau disebut secara tidak langsung olehnya.
Dalam menentukan jumlah dan waktu
berinteraksi dengan sumber data, peneliti menggunakan konsep sampling
yang dianjurkan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu maximum variation
sampling to document unique variations. Peneliti akan menghentikan
pengumpulan data apabila dari sumber data sudah tidak ditemukan lagi
ragam baru. Dengan konsep ini, jumlah sumber data bukan merupakan
kepedulian utama, melainkan ketuntasan perolehan informasi dengan
keragaman yang ada.
Tidak semua penduduk bisa memberikan
data yang diperlukan. Karena itu, hanya 25 orang sumber data yang
diwawancarai secara mendalam. Masing-masing adalah 14 orang penduduk
asli penglaju, 6 orang penduduk asli bukan penglaju, dan 5 orang
penduduk pendatang penglaju.
Karena data utama penelitian ini
diperoleh berdasarkan interaksi dengan responden dalam latar alamiah,
maka beberapa perlengkapan dipersiapkan hanya untuk memudahkan, misalnya
: (1) tustel, (2) tape recorder, dan (3) alat tulis termasuk lembar
catatan lapangan. Perlengkapan ini digunakan apabila tidak mengganggu
kewajaran interaksi sosial.
Pengamatan dilakukan dalam suasana
alamiah yang wajar. Pada tahap awal, pengamatan lebih bersifat tersamar.
Teknik ini seringkali memaksa peneliti melakukan penyamaran. Misalnya:
untuk mengamati aspek-aspek yang berhubungan dengan perilaku dan gaya
hidup, peneliti beranjang-sana di rumah informan. Sambil
berbincang-bincang, peneliti mencermati cara berbicara, berpakaian,
penataan ruang, gaya bangunan rumah, benda-benda simbolik dan
sebagainya.
Ketersamaran dalam pengamatan ini
dikurangi sedikit demi sedikit seirama dengan semakin akrabnya hubungan
antara pengamat dengan informan. Ketika suasana akrab dan terbuka sudah
tercipta, peneliti bisa mengkonfirmasikan hasil pengamatan melalui
wawancara dengan informan.
Dengan wawancara, peneliti berupaya
mendapatkan informasi dengan bertatap muka secara fisik
danbertanya-jawab dengan informan. Dengan teknik ini, peneliti berperan
sekaligus sebagai piranti pengumpul data.
Selama wawancara, peneliti juga
mencermati perilaku gestural informan dalam menjawab pertanyaan. Untuk
menghindari kekakuan suasana wawancara, tidak digunakan teknik wawancara
terstruktur. Bahkan wawancara dalam penelitian ini seringkali dilakukan
secara spontan, yakni tidak melalui suatu perjanjian waktu dan tempat
terlebih dahulu dengan informan. Dengan ini peneliti selalu berupaya
memanfaatkan kesempatan dan tempat-tempat yang paling tepat untuk
melakukan wawancara.
Selama kegiatan lapangan peneliti
merasakan bahwa pengalaman sosialisasi, usia dan atribut- atribut
pribadi peneliti bisa mempengaruhi interaksi peneliti dengan informan.
Semakin mirip latar belakang informan dengan peneliti, semakin lancar
proses pengamatan dan wawancara.
Sebaliknya, ketika mewawancarai informan
yang berbeda latar belakang, peneliti harus menyesuaikan diri dengan
mereka. Banyak ragam cara menyesuaikan diri. Di antaranya dengan cara
berpakaian, bahasa yang digunakan, waktu wawancara, hingga penyamaran
seolah-olah peneliti memiliki sikap dan kesenangan yang sama dengan
informan. Karena kendala itu, pengumpulan data terhadap penduduk asli,
baik penglaju dan lebih-lebih yang bukan penglaju, berjalan agak lamban.
Kejenuhan, bahkan rasa putus-asa
kadang-kadang muncul dan menyerang peneliti. Dalam keadaan demikian,
peneliti beristirahat untuk mengendapkan, membenahi catatan lapangan,
dan merenungkan hasil-hasil yang diperoleh. Dengan cara ini, peneliti
bisa menemukan informasi penting yang belum terkumpul.
Kedekatan antara tempat tinggal peneliti
dengan informan ternyata sangat membantu kegiatan lapangan. Secara
tidak sengaja peneliti bisa bertemu dengan informan, sehingga
pembicaraan setiap saat bisa berlangsung. Kendati tidak dirancang, bila
hasil percakapan itu memiliki arti penting bagi penelitian, akan dicatat
dan diperlakukan sebagai data penelitian.
Pada dasarnya wawancara dilaksanakan
secara simultan dengan pengamatan. Kadang-kadangwawancara merupakan
tindak-lanjut dari pengamatan. Misalnya, setelah mengamati suasana rumah
tangga dan keluarga informan, peneliti menuliskan hasilnya dalam bentuk
catatan lapangan. Wawancara dilakukan setelah itu untuk mengungkapkan
makna dari setiap hasil pengamatan yang menarik.
Penelaahan dokumentasi
dilakukankhususnya untuk mendapatkan data konteks. Kajian dokumentasi di
lakukan terhadap catatan-catatan, arsip- arsip, dan sejenisnya termasuk
laporan-laporan yang bersangkut paut dengan permasalahan penelitian.
Perekaman dokumen menjadi lebih mudah
karena dokumen, baik dari kelurahan maupun dari Kotamadya cukup lengkap.
Agar tidak menyulitkan lembaga yang menyediakan, peneliti meminta ijin
untuk menfoto-copy dokumen-dokumen yang diperlukan atau menyalinnya ke
dalam catatan peneliti.
Pemeriksaan keabsahan (trustworthiness)
data dalam penelitian ini dilakukan dengan empat kriteria sebagaimana
dianjurkan oleh Lincoln dan Guba (1985: 289-331). Masing-masing adalah
derajat: (1) kepercayaan (credibility), (2) keteralihan
(transferability), (3) kebergantungan (dependability), dan (4) kepastian
(confirmability).
Untuk meningkatkan derajat kepercayaan
data perolehan, dilakukan dengan teknik: (1) perpanjangan
keikut-sertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triangulasi, (4)
pemeriksaan sejawat, (5) kecukupan referensial, (6) kajian kasus
negatif, dan (7) pengecekan anggota.
Kegiatan lapangan penelitian ini semula
dijadwal tidak lebih dari enam bulan. Dengan pertimbangan bahwa
peningkatan waktu masih memunculkan informasi baru, maka lama kegiatan
lapangan diperpanjang. Dengan perpanjangan waktu ini, seperti
dikemukakan Moleong (1989), peneliti dapat mempelajari "kebudayaan",
menguji kebenaran dan mengurangi distorsi.
Dengan mengamati secara tekun, peneliti
bisa menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur dalam suatu situasi yang
sangat relevan dengan peran penglaju dalam perubahan sosial di Bandulan.
Bila perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka ketekunan
pengamatan menyediakan kedalaman.
Triangulasi dilakukan untuk melihat
gejala dari berbagai sudut dan melakukan pengujian temuan dengan
menggunakan berbagai sumber informasi dan berbagai teknik. Empat macam
triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pemeriksaandengan memanfaatkan sumber, metode, penyidik dan teori.
Meskipun Lincoln dan Guba (1985) tidak
menganjurkan triangulasi teori, tampaknya Patton (1987: 327) berpendapat
lain. Menurutnya, triangulasi antar teori tetap dibutuhkan sebagai
penjelasan banding (rival explanation).
Dalam penelitian ini, penempatan teori
lebih mengikuti anjuran Bogdan dan Taylor (1975). Menurut mereka, teori
memberikan suatu penjelasan atau kerangka kerja penafsiran yang
memungkinkan peneliti memberi makna pada kekacauan data (morass of data)
dan menghubungkan data dengan kejadian-kejadian dan latar yang lain.
Karena itu, sangat penting bagi peneliti untuk mengetengahkan temuannya
dengan perspektif teoretik lain, khususnya selama tahap pengolahan data
penelitian yang intensif.
Pengamatan dan wawancara tidak
terstruktur yang diterapkan dalam penelitian ini memang menghasilkan
data yang masih kacau. Untuk memilah dan memberi makna pada data
tersebut, peneliti tidak bisa tidak harus berpaling kepada teori-teori
sosiologi dan antropologi yang relevan.
Pemeriksaan sejawat dilakukan dengan
cara mengetengahkan (to expose) hasil penelitian, baik yang bersifat
sementara maupun hasil akhir, dalam bentuk diskusi analitik dengan
rekan-rekan sejawat. Dengan cara ini peneliti berusaha mempertahankan
sikap terbuka dan kejujuran, dan mencari peluang untuk menjajaki dan
menguji hipotesis yang muncul dari peneliti (pemikiran peneliti).
Sebelum menetapkan temuan sebagai
kecenderungan pokok, peneliti melakukan pengecekan anggota. Ini
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan berapa proporsi kasus yang
mendukung temuan, dan berapa yang bertentangan dengan temuan. Bila ada
penyimpangan dalam kasus-kasus tertentu, peneliti menelaahnya secara
lebih cermat.
Telaah lebih cermat terhadap kasus-kasus
yang menyimpang sering disebut sebagai analisis kasus negatif. Teknik
ini dilakukan untuk menelaah kasus-kasus yang saling bertentangan dengan
maksud menghaluskan simpulan sampai diperoleh kepastian bahwa simpulan
itu benar untuk semua kasus atau setidak-tidaknya sesuatu yang semula
tampak bertentangan, akhirnya dapat diliput aspek-aspek yang tidak
berkesesuaian tidak lagi termuat. Dengan kata-kata lain dapat dijelaskan
"duduk persoalannya".
Selain itu, peneliti juga menguji
kecukupan acuan dalam menarik simpulan. Kecukupan acuan dalam penelitian
ini dilakukan dengan mengajukan kritik internal terhadap temuan
penelitian. Berbagai bahan digunakan untuk meneropong temuan penelitian.
Usaha meningkatkan keteralihan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara "uraian rinci" (thick description).
Untuk itu, peneliti melaporkan hasil penelitiannya secermat dan
selengkap mungkin yang menggambarkan konteks dan pokok permasalahan
secara jelas. Dengan demikian, peneliti menyediakan apa-apa yang
dibutuhkan oleh pembacanya untuk dapat memahami temuan-temuan.
Kebergantungan penelitian ini diupayakan
dengan audit kebergantungan. Dalam hal ini peneliti memberikan hasil
penelitian dan melaporkan proses penelitian termasuk "bekas-bekas"
kegiatan yang digunakan. Berdasarkan penelusurannya, seorang auditor
dapat menentukan apakah temuan-temuan penelitian telah bersandar pada
hasil di lapangan.
Kepastian penelitian ini diupayakan
dengan memperhatikan topangan catatan data lapangan dan koherensi
internal laporan penelitian. Hal ini dilakukan dengan cara meminta
berbagai pihak untuk melakukan audit kesesuaian antara temuan dengan
data perolehan dan metode penelitian.
3. Tahap Pasca Lapangan
Telah disinggung bahwa penelitian ini
menerapkan metode kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata orang baik tertulis maupun
lisan dan tingkah laku teramati, termasuk gambar (Bogdan and Taylor,
1975).
Walau peneliti tidak sependapat dengan
teknik-teknik analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman
(1987), model analisis interaktif yang digambarkannya sangat membantu
untuk memahami proses penelitian ini. Model analisis interaktif
mengandung empat komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan
data, (2) penyederhanaan data, (3) pemaparan data, dan (4) penarikan dan
pengujian simpulan.
Mengacu model interaktif, analisis data
tidak saja dilakukan setelah pengumpulan data, tetapi juga selama
pengumpulan data. Selama tahap penarikan simpulan, peneliti selalu
merujuk kepada "suara dari lapangan" untuk mendapatkan konfirmabilitas.
Analisis selama pengumpulan data
(analysis during data collection) dimaksudkan untuk menentukan pusat
perhatian (focusing), mengembangkan pertanyaan-pertanyaan analitik dan
hipotesis awal, serta memberikan dasar bagi analisis pasca pengumpulan
data (analysis after data collection). Dengan demikian analisis data
dilakukan secara berulang-ulang (cyclical).
Pada setiap akhir pengamatan atau
wawancara, dicatat hasilnya ke dalam lembar catatan lapangan (field
notes). Lembar catatan lapangan ini berisi: (1) teknik yang digunakan,
(2) waktu pengumpulan data dan pencatatannya, (3) tempat kegiatan atau
wawancara, (4) paparan hasil dan catatan, dan (5) kesan dan komentar.
Contoh catatan lapangan dapat diperiksa pada lampiran.
Pendirian ontologis penelitian adalah
bahwa tujuan penyelidikan adalah mengembangkan suatu bangunan
pengetahuan idiografik dalam bentuk "hipotesis kerja" yang menggambarkan
kasus individual (Lincoln and Guba, 1985: 38). Implikasinya, konstruksi
realitas, yang dalam hal ini adalah gejala menglaju dan pengaruh
sosialnya, tidak dapat dipisahkan dari konteks (kedisinian, Bandulan)
dan waktu (kekinian, 1996).
Untuk itu peneliti memandang penting
untuk menyelidiki secara cermat akar-akar gejala menglaju sebagai
konteks kajian. Berdasarkan asal faktor pemicu gejala menglaju peneliti
menemukenali tiga kategori faktor, yaitu: (1) dari dalam diri, (2) dari
dalam desa, dan (3) dari luar desa.
Empat teknik analisis data kualitatif
sebagaimana dianjurkan oleh Spradley (1979) diterapkan dalam penelitian
ini. Masing-masing adalah: (1) analisis ranah (domain analysis), (2)
analisis taksonomik (taxonomic analysis), (3) analisis komponensial
(componential analysis). dan (4) analisis tema budaya (discovering
cultural themes).
Analisis ranah bermaksud memperoleh
pengertian umum dan relatif menyeluruh mengenai pokok permasalahan.
Hasil analisis ini berupa pengetahuan tingkat "permukaan" tentang
berbagai ranah atau kategori konseptual. Kategori konseptual ini
mewadahi sejumlah kategori atau simbol lain secara tertentu.
Pada tahap awal, berdasarkan pola
mobilitas hariannya, peneliti menemukenali dua kategori pokok penduduk
Bandulan. Masing-masing adalah penduduk penglaju dan bukan penglaju.
Berdasarkan asalnya, peneliti menemukenali dua kategori pokok penduduk
Bandulan, yaitu: penduduk asli dan penduduk pendatang.
Pada analisis taksonomik, pusat
perhatian penelitian ditentukan terbatas pada ranah yang sangat berguna
dalam upaya memaparkan atau menjelaskan gejala-gejala yang menjadi
sasaran penelitian. Pilihan atau pembatasan pusat perhatian dilakukan
berdasarkan pertimbangan nilai strategik temuannya bagi program
peningkatan kualitas hidup subyek penelitian atau mengacu pada strategic
ethnography (Faisal, 1990 : 43).
Analisis taknonomik tidak dilakukan
secara murni berdasar data lapangan, tetapi dikonsultasikan dengan
bahan-bahan pustaka yang telah ada. Beberapa anggota ranah yang menarik
dan dipandang penting dipilih dan diselidiki secara mendalam. Dalam hal
ini adalah bagaimana peran masing-masing kategori tersebut dalam proses
perubahan sosial yang berlangsung di Bandulan.
Analisis komponensial dilakukan untuk
mengorganisasikan perbedaan (kontras) antar unsur dalam ranah yang
diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara terseleksi. Dalam hemat
peneliti, kedalaman pemahaman tercermin dalam kemampuan untuk
mengelompokkan dan merinci anggota sesuatu ranah, juga memahami
karakteristik tertentu yang berasosiasi dengannya.
Dengan mengetahui warga suatu ranah,
memahami kesamaan dan hubungan internal, dan perbedaan antar warga dari
suatu ranah, dapat diperoleh pengertian menyeluruh dan mendalam serta
rinci mengenai suatu pokok permasalahan. Dengan demikian akan diperoleh
pemahaman makna dari masing-masing warga ranah secara holistik.
Hasil lacakan kontras di antara warga
suatu ranah dimasukkan ke dalam lembar kerja paradigma (Spradley, 1979:
180). Kontras-kontras tersebut selalu diperiksa kembali sebagaimana
dalam model analisis interaktif. Ringkasananalisis komponensial, yang
digunakan sebagai pemandu penulisan paparan hasil penelitian
inidisajikan dalam lampiran.
Dalam mengungkap tema-tema budaya,
peneliti menggunakan saran yang diberikan oleh Bogdan dan Taylor
(1975:82-93). Langkah-langkah yang dilakukan adalah: (1) membaca secara
cermat keseluruhan catatan lapangan, (2) memberikan kode pada
topik-topik pembicaraan penting, (3) menyusun tipologi, (4) membaca
kepustakaan yang terkait dengan masalah dan konteks penelitian.
Berdasarkan seluruh analisis, peneliti
melakukan rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi.
Beberapa sub-topik disusun secara deduktif, dengan mendahulukan kaidah
pokok yang diikuti dengan kasus dan contoh-contoh. Sub-topik selebihnya
disajikan secara induktif, dengan memaparkan kasus dan contoh untuk
ditarik kesimpulan umumnya.
|
Blog yang berisikan Resume dan Dokumentasi : Teori, Metodologi, Teknik Penulisan, jenis proposal, Statistik Penelitian, Panduan Skripsi, Resensi Buku, Referensi, Tugas Mahasiswa, Karya Penelitian dan Motivasi penelitian.
08 Agustus 2012
DESAIN DAN CONTOH PROSES PENELITIAN KUALITATIF
Kategori Artikel:
Metode Penelitian
Seorang pendidik sejak tahun 1995, selain pemerhati blog dan saat ini menjadi dosen tetap STBA JIA Bekasi, khususnya Mata kuliah Umum, Statistika terapan, Metodologi riset sejak dan secara struktural sebagai ketua LPPM-STBA JIA Bekasi.
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Setiap kegiatan
penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain
penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian
tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut
metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui
pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah
penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan,
desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan
masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan
pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan
diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan
lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
Secara umum
pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup
dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak
menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal
yang sama, untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan
ini, berikut akan dikemukakan penamaan
yang dipakai para akhli dalam penyebutan kedua istilah
tersebut seperti terlihat dalam tabel 1
berikut ini :
Tabel 1.
Quantitative and Qualitative Research :
Alternative Labels
Quantitative
|
Qualitative
|
Authors
|
Rasionallistic
|
Naturalistic
|
Guba &Lincoln (1982)
|
Inquiry from the Outside
|
Inquiry from the inside
|
Evered & Louis (1981)
|
functionalist
|
Interpretative
|
Burrel & Morgan (1979)
|
Positivist
|
Constructivist
|
Guba (1990)
|
Positivist
|
Naturalistic-ethnographic
|
Hoshmand
(1989)
|
Sumber : Julia Brannen (Ed): 1992 : 58)
Sementara itu Noeng
Muhadjir (1994 : 12) mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli
tentang metodologi penelitian kualitatif
yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi
simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut
dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta
latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya
Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini
diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California
yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu
soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di
lingkungan antropologi dan ditunjang
antara lain oleh Bogdan , interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai
barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik
dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan
dalam fisika, matematika dan penelitian
kuantitatif.
Secara lebih rinci Patton
(1990 : 88) mengemukakan-penamaan-
macam-macam penelitian kualitatif
(Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi teoritisnya yang diuraikan dalam bentuk tabel sebagai
berikut :
Tabel 1.
variety
in qualitative Inquiry : Theoritical traditions
No
|
Perspektif
|
Akar
Ilmu
|
Pertanyaan
Utama
|
1
|
Ethnography
|
Anthropology
|
Apa kebudayaan
masyarakat ini ?
|
2
|
Phenomenology
|
Philosophy
|
Apa struktur dan
esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?
|
3
|
Heuristics
|
Psikologi
Humanistik
|
Apa pengalaman saya
mengenai gejala-gejala ini dan apa pengalaman essensial bagi yang lain yang
juga mengalami gejala ini secara intens ?
|
4
|
Ethnomethodology
|
Sosiology
|
Bagaimana orang
memahami kegiatan sehari-hari mereka sehingga berprilaku dengan cara yang
dapat diterima secara sosial ?
|
5
|
Symbolic
interactionism
|
Psikologi sosial
|
Apa simbul dan
pemahaman umum yang telah muncul dan memberikan makna bagi interaksi sosial
masyarakat ?
|
6
|
Echological
Psychology
|
Psikologi
lingkungan
|
Bagaimana orang-orang mencapai tujuan mereka melalui
prilaku tertentu dalam lingkungan yang tertentu ?
|
7
|
System theory
|
interdisipliner
|
Bagaimana dan kenapa sistem ini berfungsi secara
keseluruhan ?
|
8
|
Chaos theory: non
-linier dynamics
|
Fisika teoritis :
ilmu-ilmu alam
|
Apa yang mendasari
keteraturan gejala-gejala yang tak teratur jika ada ?
|
9
|
Hermeneutics
|
Teologi, filsafat,
kritik sastra
|
Apa kondisi-kondisi
yang melahirkan prilaku atau produk yang dihasilkan yang memungkinkan
penafsiran makna ?
|
10
|
Orientaional,
qualitative
|
Ideologi, ekonomi
politik
|
Bagimana perspektif
ideologi seseorang berujud dalam suatu gejala ?
|
Dalam
perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah
menjadi istilah yang dominan dan baku,
meskipun mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh
semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam
wacana metodologi penelitian,
umumnya diakui terdapat dua paradigma
utama dalam metodologi penelitian yakni
paradigma positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik
(penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun
ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun
bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis
penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran
filosofis/teoritis maupun dalam tataran
praktis pelaksanaan penelitian, dan
justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan
masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode
yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada
tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun dalam
tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak sederhana dan hanya
bersifat teknis, namun secara esensial
keduanya mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda.
Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham
positivisme, sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham naturalistik (fenomenologis).
Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut
ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.
1.1.
Positivisme
Positivisme
merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang
folosof yang lahir di Montpellier
Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak
mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill
(juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus
filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik
positif).
Salah satu buah
pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga
tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi
(Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat.
Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan
manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada
Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga
tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme,
sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik
(Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi
dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan
ini manusia mulai menemukan keberanian
dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan
memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat
Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup
untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa
khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba
mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif
manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan
bekal itu manusia mampu
menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara
subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan
tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme
mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari
pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini
berarti dua tahapan sebelumnya merupakan
tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme
merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat
diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus
menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta
hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan
konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk
diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam
metafisika.
1.2. Fenomenologi
Edmund Husserl
adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di
berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil
pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan
tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,
sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara
tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen
(Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu
einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie
(gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)
Dalam faham
fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali
kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus
diberikan kesempatan untuk berbicara
melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak
bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan
sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak
dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu
diandaikan tiga hal yaitu : ada subyek,
ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak
bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran
merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan
obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada
dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan
hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat
obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan semua hal yang
mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala
yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan
hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi
pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk
sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini
berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin
1.3.
Perbandingan tataran Filosofis
Kedua aliran filsafat
tersebut terus berkembang dengan dukungan prngikut-pengikutnya, yang dalam
wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya paradigma penelitian
kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi).
Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai
asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma
berbeda yang menurut Lincoln dan Guba perbedaan tersebut
terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan
tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai, untuk lebih
rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut :
Dalam pandangan
positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang
tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk
dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari
obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu
merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu
konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut
epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek peneliti
dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh
hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan
obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala.
Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai
agar dicapai obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat
keberlakuannya bebas tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian
itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai
konteks.
Untuk lebih jelasnya
berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma positivisme dan
paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu pada pendapat Lincoln dan Guba,
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.
Perbedaan
Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah
No
|
Aksioma Tentang
|
Paradigma
Positivisme
|
Paradigma
Alamiah/Kualitatif
|
|
1
|
Hakikat kenyatan
|
Kenyataan adalah
tunggal, nyata dan fragmentaris
|
Kenyataan adalah
ganda,dibentuk, dan me-rupakan
keutuhan
|
|
2
|
Hubungan pencari
tahu dan yang tahu
|
Pencari tahu dengan
yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme
|
Pencari tahu dengan
yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
|
|
3
|
Kemungkinan Generalisasi
|
Generalisasi atas
dasar bebas-waktu dan bebas-konteks (pernyataan nomotetik)
|
Hanya waktu dan
konteks yang mengikat hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang
dimungkinkan
|
|
4
|
Kemungkinan
hubungan sebab akibat
|
Terdapat penyebab
sebenarnya yang secara temporer terhadap, atau secara simultan terhadap
akibatnya
|
Setiap keutuhan
berada dalam keadaan mempe-ngaruhi secara bersama-sama sehingga sukar
mem-bedakan mana sebab dan mana akibat
|
|
5
|
Peranan nilai
|
Inkuirinya bebas
nilai
|
Inkuirinya terikat
nilai
|
(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)
1.4.
Perbandingan tataran Metodologis
Memahami landasan
filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan penelitian
kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang
tepat terhadap penelitian kualitatif,
namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional
lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan
metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan
yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tataran
metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan dalam perbedaan metode
penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode penelitian
kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode penelitian
kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara diametral, meskipun
belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk
paralelisasi maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif
dengan kualitatif adalah sebagai berikut
:
Tabel 3.
Perbedaan
Metode Kuantitatif dengan Kualitatif
No
|
Metode
Kuantitatif
|
Metode
Kualitatif
|
1
|
Menggunakan
hiopotesis yang ditentukan sejak awal
penelitian
|
Hipotesis
dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
|
2
|
Definisi yang jelas
dinyatakan sejak awal
|
Definisi sesuai
konteks atau saat penelitian berlangsung
|
3
|
Reduksi data
menjadi angka-angka
|
Deskripsi
naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
|
4
|
Lebih memperhatikan
reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian
|
Lebih suka
menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
|
5
|
Penilaian validitas
menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan statistik
|
Penilaian validitas
melalui pengecekan silang atas sumber informasi
|
6
|
Mengunakan
deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
|
Menggunakan
deskripsi prosedur secara naratif
|
7
|
sampling random
|
Sampling purposive
|
8
|
Desain/kontrol
statistik atas variabel eksternal
|
Menggunakan
analisis logis dalam mengontrol
variabel ekstern
|
9
|
Menggunakan desain
khusus untuk mengontrol bias prosedur
|
Mengandalkan
peneliti dalam mengontrol bias
|
10
|
Menyimpulkan hasil
menggunakan statistik
|
Menyimpulkan hasil
secara naratif/kata-kata
|
11
|
Memecah
gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
|
Gejala-gejala yang
terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
|
12
|
Memanipulasi aspek,
situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks
|
Tidak merusak
gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan keadaan aslinya
|
(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel
Kategori Artikel:
Metode Penelitian
Seorang pendidik sejak tahun 1995, selain pemerhati blog dan saat ini menjadi dosen tetap STBA JIA Bekasi, khususnya Mata kuliah Umum, Statistika terapan, Metodologi riset sejak dan secara struktural sebagai ketua LPPM-STBA JIA Bekasi.
Langganan:
Postingan (Atom)