01 November 2011

Menguji Hipotesis

Oleh: Herri Mulyono

Menguji hipotesis atau saya lebih mudah mengatakannya sebagai usaha menarik kesimpulan dari serangkaian perhitungan yang telah dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan adalah pengujian hipostesis lebih sering muncul dalam jenis penelitian kuantitatif dibandingkan dengan jenis penelitian kualitatif. Dalam melakukan perhitungan dalam analisa data, hampir selalu ditemui bahwa setiap langkah perhitungan tersebut selalui didahului dengan sebuah hipotesis perhitungan. Jadi, pengujian hipotesis bukan selalu ada dalam tahap akhir penyimpulan hasil penelitian. Contohnya dalam pengujian reliabilitas istrumen; dalam perhitungan dengan menggunakan rumus Pearson, hipotesis yang dipakai adalah Ho yang berarti instrument yang dipakai tidak reliable jika nilai r perhitungan lebih kecil dari nilai r pada tabel konsultasi, dan Hp yang berarti instrument dikatakan reliable jika nilai r hitung lebih besar dari r pada tabel.
Hipotesis umumnya terdapat dua jenis; Null hypothesis (hipotesis nol, dilambangkan dengan Ho) dan Experiment hypothesis (hipotesis penelitian, dilambangkan dengan Ha, H1 atau Hp). Hipotesis nol menandakan tidak linier, tidak signifikan, tidak ada hubungan, atau tidak ada pengaruh antar variable dalam penelitian yang sedang dilakukan apabila tidak sesuai dengan kreteria yang diberikan berdasarkan dari teknik analisa yang dipilih. Sedangkan, H1 merupakan kebalikan dari Ho yang memberikan kesimpulan tentang signifikansi, linearitas, adanya hubungan atau pengaruh dan lainnya dari perhitungan yang telah dilakukan. Tetapi, dalam perhitungan multi variable, sangat mungkin jumlah hipotesis berkembang bukan hanya dua, tapi juga bisa tiga, empat, lima dan lebih dari itu sesuai dengan jumlah variable yang ada dalam perhitungan.
Walaupun demikian, sering ditemui bahwa penggunaan symbol-simbol tersebut diatas merupakan pilihan si peneliti itu sendiri, yaitu sangat memungkinkan Ho adalah hipotesis pertama dan H1 adalah hipotesis kedua. Serta, penerimaan terhadap sebuah hipotesis akan selalu berdampak pada penolakan hipotesis lainnya.
Penerimaan atau penolakan terhadap salah satu Hipotesis selalu didasarkan pada kreteria yang ditelah ditentukan sebelumnya (umumnya terdapat pada bab 3). Penentuan kriteria ini selalu didasarkan pada nilai hasil perhitungan yaitu apakah lebih besar atau pun lebih kecil dari nilai kritis pada tabel yang dimaksud. Atau, mungkin pula apakah nilai perhitungan positif atau negative sehingga sebuah hipotesis perlu ditolak ataupun perlu diterima. Maksudnya adalah, ketika melakukan perhitungan uji hipotesis (apakah dengan menggunakan rumus r untuk penelitian korelasi, atau uji signifikansi dengan uji t atau f, untuk penelitian pengaruh, efek, atau perbedaan) tentunya anda akan mendapatkan nilai sebagai hasil dari perhitungan anda, apakah nilai r (untuk perhitungan korelasi), nilai t ataupun nilai f (untuk uji signifikansi). Nilai inilah yang disebut dengan nilai penelitian atau hasil penelitian. Selanjutnya adalah mengkonsultasikan (membandingkan) nilai yang anda dapat tersebut pada nilai kritis r, t atau f, pada tabel yang umumnya dilampirkan pada buku-buku statistik. Misalnya, nilai t yang anda dapat adalah 0.25 sendangkan nilai kritis t pada tabel adalah 1.684. Artinya nilai t yang anda dapat lebih rendah dari nilai t yang ada pada tabel. Hal ini memaksa anda untuk menolak Hp dan menerima Ho. Atau dengan kata lain bahwa hasil penelitian anda tidak signifikan atau tidak ada pengaruh atau efek dari variable 1 ke variable lainnya, dan sebaliknya.
Umumnya, diskusi saya dengan Prof. Santosa Mawarni menyebutkan bahwa penelitian kuantitatif selalu menghasilkan nilai t atau f yang menolak Ho. Hal ini dikarenakan penelitian kuantitatif bertujuan untuk membuktikan teori, dan biasanya teori (dalam skripsi atau tesis) tidak pernah terbantahkan. Dengan kata lain, hasil pengujian selalu berbentuk terdapat hubungan, pengaruh, efek dll. Jika tidak, pasti ada kesalahan pada data yang dianalisa. Kesalahan yang paling mungkin adalah data-data tersebut tidak memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, normalitas dan homogenitas. Lalu, bagaimana jika data-data tersebut sudah benar dalam pengertian telah memenuhi prasyarat data penelitian? Jawaban yang paling mungkin adalah dengan pendeskripsian lingkungan penelitian serta faktor-faktor luar yang mempengaruhi individu pada lingkungan tersebut.
Seperti pernah salah seorang dosen pada universitas negeri ternama bertanya kepada saya tentang hasil penelitiannya yang “tidak berpengaruh” atau “berpengaruh negative” dari satu variable pada variable lainnya. Setelah di koreksi, tidak ditemukan data-data yang salah. Kemudian, saya meminta dosen tersebut untuk mendeskripsikan lingkungan yang telah beliau observasi. Hasilnya sangat mengagumkan, banyak fakta social yang mematahkan teori yang telah dicantumkan dalam bab 2. Dan sangat wajar jika kemudian faktor social masyarakat sangat mempengaruhi variable-variable penelitian yang menyebabkan ditolaknya teori yang telah ada.
Atau contoh ini mungkin dapat menjelaskan, bahwa teori menyatakan laki-laki memiliki kemampuan matematika yang lebih baik dibandingkan wanita. Dengan kata lain nilai matematika laki-laki lebih bagus apabila dibandingkan dengan wanita. Namun, hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa nilai matematika wanita di Indonesia jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan laki-laki. Bagaimana menjelaskannya? Apakah penelitian ini salah? Tentunya tidak. Ketika penelitian ini dilihat dari segi social kemasyarakatan, di jelaskan bahwa wanita di Indonesia memiliki tingkat disiplin, konsentrasi, dan manajemen waktu yang lebih baik dibandingkan laki-laki. Wanita di Indonesia banyak di dudukkan sebagai pekerja selain juga sebagai ibu rumah tangga dimana ia harus bangun pagi dan mengatur segalanya dengan baik. Faktor inilah (disiplin, konsentrasi, dan manajemen waktu) yang kemudian menjadi pengaruh positif bagi wanita dalam menyelesaikan permasalahan yang bersifat matematis yang kemudian menyebabkan perolehan nilai matematika mereka jauh lebih baik dari laki-laki.
Namun, sering timbul ketidak wajaran dalam sikap peneliti muda atas hal ini. Keberterimaan Ho kemudian diartikan sebagai sebuah kegagalan penelitian yang selanjutnya melakukan “manipulasi” data. Selain, mereka takut apabila nantinya akan “dibantai” dalam sidang skripsi atau tesis. Hal ini tentunya tidak harus terjadi apabila peneliti telah dibekali dengan rasa keingintahuan yang tinggi dan sikap tanggung jawab atas setiap hasil penelitian yang diperolehnya. Sebagai penutup, apabila penelitian anda tidak sesuai dengan teori, bukan berarti anda yang salah. Teori umumnya ditemukan di barat oleh orang-orang barat dengan sampel dan populasi orang-orang barat juga. Tentunya, pasti ada perbedaan dalam banyak hal apabila kemudian teori tersebut dibawa kedalam konteks orang-orang Indonesia. Anda memiliki kemampuan untuk menjelaskan itu semua.
Selamat Meneliti.

*Dosen UHAMKA Jakarta.


Memahami (Sekali Lagi) Grounded Research

Oleh Mudjia Rahardjo

A.    Pengantar
Judul di atas sengaja menggunakan frase “sekali lagi” dalam tanda kurung karena penjelasan mengenai ‘grounded research’ sebenarnya sudah pernah saya uraikan melalui web ini dengan judul tulisan “Jenis-Jenis Penelitian Kualitatif” beberapa waktu lalu. Tulisan tersebut memang tidak secara khusus menjelaskan mengenai ‘grounded research’ karena memang hanya menguraikan jenis-jenis penelitian kualitatif secara umum. 

Saya tidak menyangka bahwa tulisan tersebut memperoleh banyak respons dan pertanyaan dari para kolega, mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum yang memiliki minat dalam penelitian, khususnya penelitian kualitatif, termasuk pertanyaan tentang ‘grounded research’.  Saya sangat senang merespons pertanyaan dan komentar-komentar tersebut karena menggambarkan tumbuhnya semangat (ghiroh) yang tinggi di masyarakat  kita. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi penjelas bagi para peminat metodolologi  penelitian.

B.     Apa itu Grounded Research?
Sebagaimana jenis penelitian kualitatif lainnya, grounded research juga berangkat dari kasus yang unik, berskala  mikro, berlatar alami, dengan tujuan akhir untuk menghasilkan teori (generating theory) berdasarkan data, bukan untuk membuktikan teori (verifying theory). Karena itu, jika  peneliti kualitatif yang di akhir penelitiannya menyatakan bahwa teori yang dihasilkan sesuai atau tidak sesuai dengan teori tertentu tentu tidak tepat. Dengan menyatakan sesuai atau tidak sesuai dengan teori X, misalnya, maka tanpa disadari peneliti telah melakukan verifikasi atau pembuktian teori.  Padahal, pembuktian teori merupakan tujuan akhir penelitian kuantitatif yang didahului dengan perumusan hipotesis. Karena itu, hipotesis mutlak diperlukan dalam penelitian kuantitatif.

Sayang, dari beberapa kali ujian setingkat skripsi, tesis bahkan disertasi pernyataan seperti itu masih sering saya jumpai. Bahkan pernah terjadi seorang mahasiswa magister dikejar pertanyaan oleh seorang penguji (tesis)  tentang verifikasi teori tersebut. Dengan keringat panas dingin, mahasiswa tersebut berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan sang penguji yang sejatinya salah tersebut. Dalam batin saya, ini bahayanya jika penguji metodologi tidak memahami hakikat penelitian kualitatif dengan baik. Sayangnya, antara mahasiswa dan dosennya sama-sama tidak begitu paham. Teta[pi, untuk menghormati forum ujian, saya diam saja, walau sebenarnya tidak sabar juga untuk segera meluruskannya. Usai ujian, saya meluruskan pandangan dosen tersebut dengan memintanya untuk membaca tulisan-tulisan saya mengenai metodologi penelitian, khususnya kualitatif, dan membandingkannya dengan metode penelitian kuantitatif.

Kembali ke permasalahan di atas. Penelitian jenis ini (grounded) dikembangkan pada tahun 1967 oleh Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss dengan diterbitkannya buku berjudul The Discovery of Grounded Theory. Tetapi di Indonesia mulai dikenal sekitar tahun 1970.  Kehadirannya menghebohkan para ahli penelitian kualitatif  sebelumnya yang selalu berangkat dari teori untuk menghasilkan teori baru. Teori dipakai sebagai alat untuk memahami gejala atau fenomena hingga data yang diperoleh. Asumsinya, tanpa teori sebagai sebuah perspektif, peneliti tidak akan mampu memahami gejala untuk memperoleh makna (meaning), sehingga bisa jadi gejala yang penting  pun untuk menjawab masalah penelitian terlewatkan  begitu saja karena peneliti  memiliki kelemahan atau kekurangan wawasan mengenai tema yang diteliti, baik  secara teoretik atau yang disebut sebagai perspektif teoretik maupun wawasan empirik yang diperoleh dari pelacakan studi atau penelitian sebelumnya.  Karena itu, perspektif teoretik  dan wawasan empirik (studi terdahulu) biasanya dimuat pada Bab II yang berisi tentang  Kajian Pustaka yang dalam bahasa Inggrisnya biasanya ditulis “Review of the Related Literature”. .

Penelitian model grounded menawarkan pendekatan yang berbeda dari jenis penelitian kualitatif yang lain, seperti fenomenologi, etnografi, etnometodologi, dan studi kasus. Grounded research tidak berangkat dari teori untuk menghasilkan teori baru (from a theory to generate a new theory), melainkan berupaya menemukan teori berdasar data empirik, bukan membangun teori secara deduktif logis. Teori yang dihasilkan lewat kerja yang sistematik dan sistemik  itu disebut  grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research.

Penelitian model grounded ini berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir ini, baik dari sisi kuantitas maupun bidang studi  yang menggunakannya, dari yang semula di bidang sosiologi saja sekarang sudah berkembang ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan, ekonomi, antropologi, psikologi, bahasa, komunikasi, politik, sejarah, agama dan sebagainya.

Perkembangan penelitian model grounded yang begitu pesat bisa dipahami karena sejalan dengan hakikat dan tujuan penelitian kualitatif, di mana peneliti harus menghindarkan diri dari upaya memverifikasi teori. 

Menurut Glaser dan Strauss sebagai penggagasnya, dengan membawa teori atau perspektif sebelumnya untuk memahami fenomena atau bahkan data mau tidak mau peneliti tentu terjebak pada upaya memverifikasi teori. Misalnya, seorang mahasiswa Program Magister Studi Agama mengajukan penelitian dengan judul penelitian “Persepsi Santri terhadap Pola Kepemimpinan Kyai dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik”, maka tidak bisa tidak peneliti akan melihat pola kepemimpinan kyai sebagai subjek penelitian dari sudut pandang teori Interaksionisme Simbolik. Pada akhirnya, tidak bisa dihindari pula peneliti akan melihat  apakah pola kepemimpinan kyai sesuai dengan teori Interaksionisme Simbolik. Ini yang dihindari oleh grounded research.

Karena itu, grounded research melepaskan teori dan peneliti langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain,  peneliti  model grounded bergerak dari data menuju  konsep. Data yang telah diperoleh dianalisis menjadi fakta, dan dari fakta diinterpretasi menjadi konsep. Jadi prosesnya adalah data menjadi fakta, dan fakta menjadi konsep. 

Bagi .peneliti grounded,  dan semua peneliti kualitatif pada umumnya, data  selalu dianggap benar, walau bukan yang sebenarnya, dan karena itu untuk mengetahui atau  menjadikan data menjadi data yang sebenarnya ada proses keabsahan data yang disebut  triangulasi data. Karena itu, triangulasi wajib dilakukan untuk memperoleh data yang kredibel. Kredibilitas data sangat menentukan kualitas hasil penelitian.

Karena tidak berangkat dari teori, sering disebut peneliti grounded ke lapangan dengan “kepala kosong”. Sayang, dalam kenyataannya istilah “kepala kosong” disalahpahami. Maksudnya “kepala kosong” adalah peneliti tidak berangkat dari kerangka teoretik tertentu, sebagaimana contoh judul penelitian di atas, tetapi langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. 

Dengan tanpa membawa kerangka teoretik  atau sebuah konsep, maka diharapkan peneliti dapat memotret fenomena dengan jernih tanpa harus  memaksakan data empirik untuk menyesuaikan diri dengan konsep teoretik. Atau dengan kata-kata lain, istilah “kepala kosong” artinya adalah  peneliti melepaskan sikap, pandangan, keberpihakkan pada teori tertentu Sebab, keberpihakkan semacam itu dikhawatirkan kegagalan peneliti menangkap fenomena atau data yang diperoleh secara jernih karena sudah dipengaruhi oleh pandangen sebuah teori yang dibawa.

Namun demikian, peneliti grounded tetap wajib memiliki wawasan teoretik mengenai tema yang diteliti, termasuk mengkaji hasil-hasil penelitian terdahulu. Sebab, bagaiamana seorang peneliti bisa memahami gejala atau fenomena yang terjadi tanpa memiliki wawasan teoretik mengenai fenomena tersebut. Karena itu, membaca teori atau konsep terkait dengan permasalahan penelitian tetap dilakukan  oleh peneliti grounded.

C. Langkah Teoretisasi Penelitian Grounded
Karena tujuan akhir penelitian grounded ialah untuk menghasilkan teori berdasarkan data, maka terdapat tiga (3) langkah penting untuk menghasilkan teori tersebut, yaitu konseptualisasi data, kategorisasi, dan proposisi. Konseptualisasi adalah langkah memahami data secara jeli untuk melahirkan konsep. Caranya, semua data dibaca dengan cermat untuk diperoleh kata-kata kunci. 

Dari kata-kata kunci akan diperoleh label secara konseptual. Misalnya, konsep tentang “kepemimpinan”, “etos kerja”, “idealisme”, “reward and punishment”  dan sebagainya.

Kedua, adalah kategorisasi konsep. Jika konsep berangkat dari pelabelan data dari kata-kata kunci, maka kategorisasi adalah tahap mengumpulkan konsep-konsep secara lebih abstrak. Langkah untuk memperoleh kategori adalah dengan cara mencari perbedaan dan persamaan masing-masing konsep. 

Data dengan ciri-ciri yang sama dikelompokkan ke dalam satu kelompok kategori. Yang berbeda untuk sementara disingkirkan sambil mencari jika ada data yang memiliki ciri-ciri yang sama lagi dalam pembacaan data lebih lanjut.

Ketiga adalah melahirkan proposisi. Proposisi adalah pernyataan yang mengandung hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai atau benar atas sesuatu yang relevan dengan keadaan di lapangan. (penjelasan selanjutnya tentang proposisi bisa dibuka pada buku filsafat ilmu atau logika). Penyusunan konsep, kategori, dan proposisi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan teori, sebagai tujuan akhir dari grounded research.

D. Penutup
Penelitian model grounded merupakan varian lain dalam tradisi penelitian kualitatif dengan ciri-ciri model kerja yang berbeda dengan model penelitian-penelitian kualitatif yang lain pada umumnya.Perbedaan mencolok terletak pada posisi dan peran teori yang dikembangkan. Jika penelitian kualitatif pada umumnya berangkat dari perspektif teoretik tertentu untuk dikembangkan menjadi teori baru, maka penelitian grounded justru menyingkirkan teori dan langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Dari data akan dihasilkan teori baru. Namun demikian tidak berarti peneliti grounded akan “berkepala kosong” ketika ke lapangan mengumpulkan data, melainkan tetap diperlukan wawasan teoretik mengenai tema atau topik yang diteliti agar bisa memaknai setiap informasi atau data yang diperoleh. Tanpa wawasan teoretik, informasi yang sangat penting tidak bermakna dan terlewat begitu saja, Dan, itu adalah kehilangan momen yang sangat penting bagi seorang peneliti grounded.

Penelitian grounded memang tidak mudah, terutama pada tahap analisis data, apalagi bagi peneliti pemula. Tetapi tidak berarti tidak bisa dilakukan.  Kualitasnya pun sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang dilakukan secara baik, benar, dan disiplin. Proses yang benar akan menjamin ditemukannya hasil akhir, yakni teori yang benar pula. Selain prosesnya harus benar, penelitian grounded menuntut data yang  kredibel. Data yang kredibel merupakan bagian yang tidak bisa ditawar. Lebih dari itu, kejujuran seorang peneliti juga merupakan prasyarat utama untuk menghasilkan kesimpulan (teori) yang benar. Selamat mencoba !
___________
Pulau Seribu, 15 Oktober 2011

Catatan:
Tulisan ini dirangkum dari beberapa sumber, terutama buku “The Discovery of Grounded Theory” Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, dan  buku “Basic of Qualitative Research: Grounded Theory, Procedures and Techniques”, karya Anselm Strauss dan Juliet Corbin, oleh Penerbit  Sage Publication, Inc. tahun 1990.

Analisis Data Penelitian Kualitatif (Sebuah Pengalaman Empirik)

Oleh :  Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si  * 

Pekerjaan paling berat yang dilakukan peneliti setelah data terkumpul adalah analisis data. Analisis data merupakan bagian sangat penting dalam penelitian, karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun formal. Selain itu, analisis data kualitatif sangat sulit karena tidak ada pedoman baku, tidak berproses secara linier, dan tidak ada aturan-aturan yang sistematis.

Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa  dipahami dengan mudah.

Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian. Di dalam penelitian lapangan (field research) bisa saja terjadi karena memperoleh data yang sangat menarik, peneliti mengubah fokus penelitian. Ini bisa dilakukan karena perjalanan penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga fokus yang sudah didesain sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Lewat data itu akan diperoleh informasi yang lebih bermakna. 

Untuk bisa menentukan kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan expertise peneliti. Kualitas hasil analisis data kualitatif sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.

Dari pengalaman melakukan penelitian kualitatif beberapa kali, model analisis data yang dikenalkan oleh Spradley (1980), dan Glaser dan Strauss (1967) bisa dipakai sebagai  pedoman. Kendati tidak baku, artinya setiap peneliti kualitatif bisa mengembangkannya sendiri, secara garis besar  model analisis itu diuraikan sebagai berikut:

1. Analisis Domain (Domain analysis). Analisis domain pada hakikatnya adalah upaya peneliti untuk memperoleh gambaran umum tentang data untuk menjawab fokus penelitian. Caranya ialah dengan membaca naskah data secara umum dan menyeluruh untuk memperoleh domain atau ranah apa saja yang ada di dalam data tersebut. Pada tahap ini peneliti belum perlu membaca dan memahami data secara rinci dan detail karena targetnya hanya untuk memperoleh domain atau ranah. Hasil analisis ini masih berupa pengetahuan tingkat “permukaan” tentang berbagai ranah konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal-hal penting dari kata, frase atau bahkan kalimat untuk dibuat catatan pinggir.

2. Analisis Taksonomi (Taxonomy Analysis). Pada tahap analisis taksonomi, peneliti berupaya memahami domain-domain tertentu sesuai fokus masalah atau sasaran penelitian. Masing-masing domain mulai dipahami secara mendalam, dan membaginya lagi menjadi sub-domain, dan dari sub-domain itu dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus lagi hingga tidak ada lagi yang tersisa, alias habis (exhausted). Pada tahap analisis ini peneliti bisa mendalami domain dan sub-domain yang penting lewat konsultasi dengan bahan-bahan pustaka untuk memperoleh pemahaman lebih dalam.

3. Analisis Komponensial (Componential Analysis). Pada tahap ini peneliti mencoba mengkontraskan antar unsur dalam ranah yang diperoleh . Unsur-unsur yang kontras dipilah-pilah dan selanjutnya dibuat kategorisasi yang relevan. Kedalaman pemahaman tercermin dalam kemampuan untuk mengelompokkan dan merinci anggota sesuatu ranah, juga memahami karakteristik tertentu yang berasosiasi. Dengan mengetahui warga suatu ranah, memahami kesamaan dan hubungan internal, dan perbedaan antar warga dari suatu ranah, dapat diperoleh pengertian menyeluruh dan mendalam serta rinci mengenai pokok permasalahan.

4. Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes). Analisis Tema Kultural adalah analisis dengan memahami gejala-gejala yang khas dari analisis sebelumnya. Analisis ini mencoba mengumpulkan sekian banyak tema, fokus budaya, nilai, dan simbol-simbol budaya yang ada dalam setiap domain. Selain itu, analisis ini berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat pada domain yang dianalisis, sehingga akan membentuk satu kesatuan yang holistik, yang akhirnya menampakkan tema yang dominan dan mana yang kurang dominan. 

Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti adalah: (1) membaca secara cermat keseluruhan catatan penting, (2) memberikan kode pada topik-topik penting, (3) menyusun tipologi, (4) membaca pustaka yang terkait dengan masalah dan konteks penelitian. 

Berdasarkan seluruh analisis, peneliti melakukan rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi. Sekali lagi di sini diperlukan kepekaan, kecerdasan, kejelian, dan kepakaran peneliti untuk bisa menarik kesimpulan secara umum sesuai sasaran penelitian.

* Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri, Maulana Malik Ibrahim Malang

Tulisan Lainnya:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *