06 Desember 2011

DIKHOTOMI PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF


Analisa kualitatif seringkali menjadi bahan perbincangan dikalangan para peneliti, siapa yang paling capable  antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Bahkan ada pertanyaan berkesan meragukan, apakah penelitian kualitatif itu benar-benar ilmiah?. 

Sebagian  ahli masih mempertentangkan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif sebagai suatu dikhotomi dalam penelitian dengan berbagai kendala sosial dan psikologis dari para peneliti terutama berdasarkan kebiasaan penelitian dikampus masing-masing. Termasuk penelitian bahasa ada kecenderungan lebih menikmati menggunakan penelitian kualitatif dengan analisa literatur yang berkesan sederhana, praktis dan bisa membuka keran asumsi literature seluas mungkin yang tidak bisa dikupas melalui angka-angka penelitian yang sifatnya bisa direkayasa dan di mark-up oleh para peneliti.
Di antara kedua metode penelitian ini sering timbul perdebatan di seputar masalah metodologi penelitian. Masing-masing aliran berusaha mempertahankan kekuatan metodenya. Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta. Sementara ada anggapan kalau penelitian kuantitatif lebih rumit dan terlalu exact dengan bermacam rumus statistik, sehingga penelitian kuantitatif di program bahasa mengalami kesulitan secara psikologis yang tertanam mulai dari mahasiswa yang sedang menyusun skripsi yang sebelumnya tidak begitu menyukai matematik, bahkan dosen bahasa itu sendiri lebih familiar kalau penelitian secara kualitatif karena lebih luas dan dinamis dalam menganalitis, serta kemungkinan pengalaman penelitian sebelumnya sangat berperan dari dosen untuk menggunakan penelitian dan
Kuatnya content literatur dalam Penelitian bahasa sehingga ada kecenderungan bersinkronisasi dengan penelitian kualitatif yang lebih terfokus pada analisa teoritis yang bersifat deskriptif dalam mengungkapkan nilai, asumsi-asumsi dan fenomena dalam bahasa yang di interpretasikan dan dikaji dengan menggunakan literatur. Interpretasi berkaitan dengan pemaknaan suatu analog teks suapaya membuat jelas, membuat sesuatu memiliki makna sesuatu objek studi bahasa dalam hal hal ini diharapkan agar dikhotomi pengunaan metode penelitian bukan hal baku tapi bisa lebih variatif dan lebih memperkaya kebermaknaan suatu penelitian bahasa yang komunikatif, dinamis dan senantiasa fenomenal.
Interpretasi hermeneutka dicoba penulis untuk memaknakan secara dialektika antara pemahaman teks secara menyeluruh dan interpretasi bagian-bagiannya yang dideskripsinya diharapkan membawa makna dengan dibimbing  oleh penjelasan yang diperkirakan atas dasar konteks apa yang telah dilakukan oleh penelitian bahasa, oleh karena intepretasi menurut Prof Dr.  Lexy Moleong merupakan kerangka berpikir yang memperjelas pengertian tersembunyi menjadi suatu makna yang jelas.[1]
Dari sudut lain, dilihat dari para peneliti kuantitatif terdapat kesalahan pemahaman di dalam masyarakat bahwa yang dinamakan kegiatan penelitian adalah penelitian yang bercorak survei dan penelitian yang benar jika menggunakan sebuah daftar pertanyaan dan datanya dianalisa dengan menggunakan teknik statistik. Pemahaman ini berkembang karena kuatnya pengaruh aliran positivistik[2] dengan metode penelitian kuantitatif.
Padahal Inti dasar dari penelitian yang bisa dijadikan acuan ataupun bisa juga dijadikan sebagai pilihan, yaitu ada dua kelompok metode penelitian dalam ilmu sosial dan bahasa yakni metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan responden.
Namun apabila kita telusuri sebagaimana diungkapkan oleh Bogdan dan Biklen (1982:3) kutipan dari lexy J. Moleong bahwa ada beberapa kesamaan penelitian kualitatif dengan penelitian naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif kedalam, etnometodologi. The Chicago scholl, fenomenologis, studi kasus, interpretative, ekologis dan deskriptif[3]. Semua adalah pilihan yang penting dikhotomi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif ini dapat melemahkan kekuatan sebuah penelitian. Sehingga hilangnya dikhotomi akan lebih memperkaya dan memperkuat berbagai analisa penelitian bahasa yang lebih universal cakupannya dimana mahasiswa bisa melaksanakan penelitian sesuai dengan pilihannya baik kualitatif maupun kuantitatif.
Paradigma ini telah berubah diatara dua jurusan yaitu jurusan bahasa Inggeris dan bahasa Jepang di STBA JIA berdasarkan pengamatan penulis yang sekaligus dosen Metodologi riset dari kegiatan penelitian tugas akhir mahasiswa sudah mencoba menggunakan pilihannya dalam penelitian bahasa baik pengunaan penelitian kuantitatif dengan analisa stsistik yang masih dianggap rumit dan sulit maupun secara permanen hanya menggunakan analisa kualitatif karena dianggap lebih dinamis dan lebih mudah menginterpretasikan masalah dalam bahasa.
Dari hasil pengamatan kendala itu terjadi ketika  para dosen mulai melanjutkan kuliah ke jenjang pasca sarjana dengan tesis dan disertasi yang sudah mulai mengharuskan pengunaan analisa kuantitatif dengan dasar statistic yang dijadikan sebagai acuan penelitiannya, sehingga para dosen pembimbing sudah mulai memperkenalkan penelitian kuantitaif ini dalam tugas akhir mahasiswa.
Seiring dinamika bahasa dengan perkembangan teknologi computer maka semakin dikenalnya penelitian kuantitatif melalui program SPSS[4] selain program sejenis seperti Lisrel, Amos, Minitab, Systat, Ecostat, statgraph, SAS, SPS, dll yang dirasakan jauh lebih mudah, peneliti hanya harus memahami  prisnsip-prinsip statistic saja dibandingkan dengan metode analisa statistic secara manual dan memberikan perubahan persepsi kalau Statistik sebagai dasar penelitian kuantittaif tidak sesulit secara manual dengan adanya SPSS ini.
Dari permasalahan diatas, maka secara deskriptih penulis ingin mengetahui, “Sejauhmana terjadinya perubahan paradigma para peneliti dalam menentukan jenis penelitian dalam prespektif dikhotomi antara pengunaan analisa kualitatif dan kuantitatif dalam penelitian bahasa?”

Rangkaian mata kuliah metodologi dalam kurikulum bahasa di pelbagai universitas umumnya dipisahkan menjadi metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Implikasi negative dikotomi itu muncul kecenderungan penilaian bahwa perbedaan di antara keduanya bukan lagi sekedar perbedaan metode, melainkan paradigmatik (yang mencakup epistemologi, ontologi, aksiologi dan metodologi) seolah penelitian kuantitatif dan kualitatif dua paradigma yang mutually exclusive.
             Awalnya Dikotomi merupakan suatu konsep teologis yang menyatakan bahwa diri manusia dapat dibedakan dalam dua aspek, yakni jiwa yang bersifat rohani dan tubuh yang bersifat jasmani. Pandangan seperti ini diklaim memiliki dasar dari Alkitab. Konsep dikotomi berbeda dengan dualisme yang juga memisahkan antara tubuh dan jiwa manusia.
            Di dalam konsep dualisme, tubuh dianggap lebih rendah dari jiwa, bahkan tubuh dipandang jahat. Sedangkan dalam konsep dikotomi, tidak ada anggapan bahwa tubuh adalah jahat atau lebih rendah, kendati tubuh tidaklah abadi seperti jiwa. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik.[1]
              Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
             Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. [2]Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.[3]
Menurut Strauss dan Corbin (1997: 11-13), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). [4]
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miler (1986: 9) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu.
Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas.
Di pihak lain kualitas menunjuk pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidakmengadakan perhitungan. Pemahaman yang demikian tidak selamanya benar, karena dalam perkembangannya ada juga penelitian kualitatif yang memerlukan bantuan angka-angka seperti untuk mendeskripsikan suatu fenomena maupun gejala yang diteliti.
Dalam perkembangan lebih lanjut ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif (Noeng Muhadjir. 2000: 17) seperti : interpretif grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian postpositivisme phenomenologik interpretif. Berdasarkan beragam istilah maupun makna kualitatif, dalam dunia penelitian istilah penelitian kualitatif setidak-tidaknya memiliki dua makna, yakni makna   aspek filosofi penelitian dan makna dari aspek desain penelitian.
             Penelitian kualitatif juga disebut dengan: interpretive research, naturalistic research, phenomenological research (meskipun ini disebut sebagai jenis dari penelitian kualitaif yang dipakai penelitian deskriptif).
 
b). Perbedaan Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
             Penelitian untuk membuktikan atau menemukan sebuah kebenaran dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu kantitatif maupun kualitatif. Kebenaran yang di peroleh dari dua pendekatan tersebut memiliki ukuran dan sifat yang berbeda.

              Pendekatan kuantitatif lebih menitik beratkan pada frekwensi tinggi sedangkan pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik dan dapat digeneralisasi sedangkan hasil analisis penelitian kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat digeneralisasi.

             Hasil analisis penelitian kualitatif naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan maupun menemukan terori-teori sosial sedangkan hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.  Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
Sedang menurut Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.[5] Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
           Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan[6] (Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2)
Metode Kuantitatif menggunakan angka-angka dan data staistik, seperti: experiments, correlational studies using surveys & standardized observational protocols, simulations, supportive materials for case study.
Yang biasanya ditandai dengan: 1. Observe events, 2. Tabulate, 3. Summarize data, 4. Analyze, 5. Draw conclusions  Sedangkan kualitatif menggunakan deskripsi dan kategori dalam wujud kata-kata, seperti: open-ended interviews, naturalistic observation (common in anthropology), document analysis, case studies/life histories, descriptive dan self-reflective supplements to experiments serta correlational studies.
 
Dengan ciri-ciri umum:
1. Observe events (ask questions with open-ended answers)
2. Record/log what is said and/or done
3. Interpret (personal reactions, hypotheses, monitor methods)
4. Return to observe
5. Formal theorizing (speculations and hypotheses)
6. Draw conclusions
 
Tiga proses yang dipakai
1. Detail tapi open-ended interviews
2. Observasi langsung
3. Menulis dokumen (dengan kata bukan angka)

Ditinjau dari sisi kemudahan
1. kuantitatif, cukup dengan menggunakan software statistik tertentu lewat media komputer (meski harus tetap mengetahui proses statistik).
2. Kualitatif, menganalisis konsep-konsep (bukan hanya satu prosedur)
3. Kualitatif menggunakan banyak buku sebagai sumber analisa.
4. Kuantitatif, cukup dengan mempelajari 2-3 artikel.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat ilmiah dan juga sistematis sebagaimana penelitian kuantitatif sekalipun dalam pemilihan sample tidak seketat dan serumit penelitian kuantitatif.
Dalam memilih sample penelitian kualitatif menggunakan teknik non probabilitas, yaitu suatu teknik pengambilan sample yang tidak didasarkan pada rumusan statistik tetapi lebih pada pertimbangan subyektif peneliti dengan didasarkan pada jangkauan dan kedalaman masalah yang ditelitinya. Lebih lanjut pada penelitian kualitatif tidak ditujukan untuk menarik kesimpulan suatu populasi melainkan untuk mempelajari karakteristik yang diteliti, baik itu orang ataupun kelompok sehingga keberlakukan hasil penelitian tersebut hanya untuk orang atau kelompok yang sedang diteliti tersebut.
             Kebutuhan pemahaman yang benar dalam menggunakan pendekatan, metode ataupun teknik untuk melakukan penelitian merupakan hal yang penting agar dapat dicapai hasil yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya. Perbedaan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yaitu:
 
1. Konsep yang berhubungan dengan pendekatan
             Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis.
             Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing. Reliabilitas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.
Beradasarkan referensi dari Chaedar Alwasilah dalam bukunya Pokoknya Kualitatif  yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, ada beberapa ciri-ciri yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya. Berikut penulis akan coba uraikan secara singkat ciri-ciri kualitatif tersebut, antara lain:

a)      Pemahaman makna
          Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “perspektif partisipan” (participant’s perspectives).

b)     Pemahaman konteks tertentu
         Dalam perilaku kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu.

c)      Kemunculan teori berbasis data
         Teori yang sudah jadi atau pesanan, atau a priori tidaklah mengesankan kaum naturalis, karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi, kejadian, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru.

d)     Pemahaman proses
           Para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses (daripada produk) kejadian atau kegiatan yang diamati.

e)      Penjelasan sababiyah (casual explanation)
           Dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Jadi yang dicari adalah sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan sababiyah lokal  (Alwasilah, 2003: 107-110).

2. Dasar Teori
             Jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Pada mulanya teori-teori kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi , etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena teori-teori ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu social lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.
Lain halnya dengan pendekatan kuantitatif, pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.

3. Tujuan
Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”.
Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya.

4. Desain
Melihat sifatnya, pendekatan kualitatif desainnya bersifat umum, dan berubah-ubah / berkembang sesuai dengan situasi di lapangan. Kesimpulannya, desain hanya digunakan sebagai asumsi untuk melakukan penelitan, oleh karena itu desain harus bersifat fleksibel dan terbuka.
Lain halnya dengan desain penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya. Desainnya bersifat spesifik dan detil karena desain merupakan suatu rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya. Oleh karena itu, jika desainnya salah, hasilnya akan menyesatkan. Contoh desain kuantitatif: ex post facto dan desain experimental yang mencakup diantaranya one short case study, one group pretest, posttest design, Solomon four group design dll.nya.

5. Data
Pada pendekatan kualitatif, data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada jsaat penelitian dilakukan.
Sebaliknya penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif datanya bersifat kuantitatif / angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variable-variajbel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.

6. Sampel
Sampel kecil merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan kualitatif penekanan pemilihan sample didasarkan pada kualitasnya bukan jumlahnya. Oleh karena itu, ketepatan dalam memilih sample merupakan salah satu kunci keberhasilan utama untuk menghasilkan penelitian yang baik. Sampel juga dipandang sebagai sample teoritis dan tidak representatif
Sedang pada pendekatan kuantitatif, jumlah sample besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil. Karena pada umumnya pendekatan kuantitatif membutuhkan sample yang besar, maka stratafikasi sample diperlukan . Sampel biasanya diseleksi secara random. Dalam melakukan penelitian, bila perlu diadakan kelompok pengontrol untuk pembanding sample yang sedang diteliti. Ciri lain ialah penentuan jenis variable yang akan diteliti, contoh, penentuan variable yang mana yang ditentukan sebagai variable bebas, variable tergantung, varaibel moderat, variable antara, dan varaibel kontrol. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat melakukan pengontrolan terhadap variable pengganggu.

7. Teknik
Jika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, maka yang bersangkutan kan menggunakan teknik observasi terlibat langsung atau riset partisipatori, seperti yang dilakukan oleh para peneliti bidang antropologi dan etnologi sehingga peneliti terlibat langsung atau berbaur dengan yang diteliti. Dalam praktiknya, peneliti akan melakukan review terhadap berbagai dokumen, foto-foto dan artefak yang ada. Interview yang digunakan ialah interview terbuka, terstruktur atau tidak terstruktur dan tertutup terstruktur atau tidak terstruktur.
Jika pendekatan kuantitatif digunakan maka teknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, eksperimen dan eksperimen semu. Dalam mencari data, biasanya peneliti menggunakan kuesioner tertulis atau dibacakan. Teknik mengacu pada tujuan penelitian dan jenis data yang diperlukan apakah itu data primer atau sekunder.

8. Hubungan dengan yang diteliti
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti tidak mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan yang dibangun didasarkan pada saling kepercayaan. Dalam praktiknya, peneliti melakukan hubungan dengan yang diteliti secara intensif. Apabila sample itu manusia, maka yang menjadi responden diperlakukan sebagai partner bukan obyek penelitian.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan ini seperti hubungan antara subyek dan obyek. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang tinggi. Pada umumnya penelitiannya berjangka waktu pendek.

9. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).
Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dll.nya.
            Kedua pendekatan tersebut masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Pendekatan kualitatif banyak memakan waktu, reliabiltasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti.
Pendekatan kuantitaif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample, pengambilan data dan penentuan alat analisanya.
c). Paradigma Metode Penelitian
Ada dua metode berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan penelitian memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik. Tetapi dalam perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.
Setelah itu timbul pandangan baru, yakni bahwa peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan berbagai eksperimen, maka timbullah metode ilmiah. Masa ini disebut masa positivisme.
Pandangan positivisme dalam perkembangannya dibantah oleh pendirian baru yang disebut post-positivisme. Pendirian post-positivisme ini bertolak belakang dergan positivisme. Dapat dikatakan bahwa post-positivisme sebagai reaksi terhadap positivisme. Menurut pandangan post-positivisme, kebenaran tidak hanya satu tetapi lebih kompleks, sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu saja.
Dalam penelitian, dikenal tiga metode yang secara kronologis berurutan yakni metode pra-positivisme, positivisme, dan post-positivisme.
d). Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 15 ciri penelitian kualitatif [7]yaitu:
1.    Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2.    Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
3.    Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4.    Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5.    Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6.    Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
7.    Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
8.    Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9.    Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
10. Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
11. Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
12. Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
13. Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14. Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.

e). Dasar Teoritis Penelitian
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:
1.    Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2.    Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
3.    Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
4.    Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.

f). Kedudukan dan ragam paradigma
Ilmu pengetahuan merupakan suatu cabang studi yang berkaitan dengan penemuan dan pengorganisasian fakta-fakta, prinsip-prinsip, dan metoda-metoda. Dari sini dapat dipahami bahwa untuk dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan, maka cabang studi itu haruslah memiliki unsur-unsur penemuan dan pengorganisasian, yang meliputi pengorganisasian fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan, prinsip-prinsip serta metoda-metoda. Oleh Moleong prinsip-prinsip ini disebut sebagai aksioma-aksioma, yang menjadi dasar bagi para ilmuan dan peneliti di dalam mencari kebenaran melalui kegiatan penelitian.
Dasar-dasar untuk melakukan kebenaran itu biasa disebut sebagai paradigma, yang oleh Bogdan dan Biklen dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Ada berbagai macam paradigma yang mendasari kegiatan penelitian ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma yang beragam tersebut tidak terlepas dari adanya dua tradisi intelektual Logico Empiricism dan Hermeneutika.
Logico Empiricism, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang nyata atau faktual dan yang serba pasti. Sedangkan Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang mendasarkan diri pada sesuatu yang berada di balik sesuatu yang faktual, yang nyata atau yang terlihat.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut.
Pilihan terhadap tradisi mana yang akan ditempuh peneliti sangat ditentukan oleh tujuan dan jenis data yang akan ditelitinya. Oleh karena itu pemahaman terhadap paradigma ilmu pengetahuan sangatlah perlu dilakukan oleh para peneliti. Bagi kegiatan penelitian, paradigma tersebut berkedudukan sebagai landasan berpijak atau fondasi dalam melakukan proses penelitian selengkapnya.
Dalam rangka melakukan pengumpulan fakta-fakta para ilmuwan atau peneliti terlebih dahulu akan menentukan landasan atau fondasi bagi langkah-langkah penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan dijadikan sebagai prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang dalam bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.
Menurut Bogdan dan Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma didalam ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus mempunyai pemahaman yang cukup terhadap dasar pemikiran paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum melakukan kegiatan penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai landasan penelitiannya secara tepat.
Menurut Meta Spencer paradigma di dalam ilmu sosial meliputi (1) perspektif evolusionisme, (2) interaksionisme simbolik, (3) model konflik, dan (4) struktural fungsional. Menurut George Ritzer paradigma di dalam ilmu sosial terdiri atas (1) fakta sosial, (2) definisi sosial, dan (3) perilaku sosial.
Perbedaan dan keragaman paradigma dan atau teori yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan sosial, menuntut para peneliti untuk mencermatinya di dalam rangka memilih paradigma yang tepat bagi permasalahan dan tujuan penelitiannya.


[1] Hart, W.D. (1996) "Dualism", dalam A Companion to the Philosophy of Mind, ed. Samuel Guttenplan, Oxford: Blackwell, h. 265-7.
[2] Descartes, R. (1641) Meditations on First Philosophy, dalam The Philosophical Writings of René Descartes, terjemahan oleh J. Cottingham, R. Stoothoff dan D. Murdoch, Cambridge: Cambridge University Press, 1984, vol. 2, pp. 1-62.
[3] Robinson, Howard, "Dualism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2003 Edition), ed. Edward N. Zalta
[5] Bogdan, Robert, Participant Observation In Organizational Setting, Syracuse, N.Y. Syracuse university press.
[6] Hadjar, 1996 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002: 2

[7] Ibid, J. Moleong, hal.34

[1] Moleong, J. Lexy, prof. Dr., Metoodologi penelitian kualitatif, Rosdakarya, Bandung, 2006:278.
[2] Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
[3] Moleong, J.  Lexy, prof. DR., Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda, Bandung, 2010 : 3
[4] Statistical package for  the social sciences (SPSS) yaitu Program pengolah data yang pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1960 oleh Norman H. Nie dan Dale bent dari Stanford university.

Daftar pustaka :
Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer, Pajar Pustaka, Yogyakarta, 2003.
Moleong, J. Lexy; Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004.
Mulyana, Deddy; Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung; 2001
 Palmer, E. Richard; Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Ricoeur, Paul, The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa, IRCiSoD, Yogyakarta, 2002.
Sumaryono E.,  Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Thompson, Jhon B; Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, IRCiSoD, Yogyakarta, 2003.
Thompson, Jhon B, Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, IRCiSoD, Yogyakarta, 2004.
Takwin, Bagus, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

2 komentar:

  1. Blog keren, sangat bermanfaat. Pakai domain sendiri tentunya lebih keren. Trims

    BalasHapus
  2. terimakasih atas kunjungannya...pengennya domain sendiri, tapi..keterbatasan ilmu..he..he..

    BalasHapus

Tulisan Lainnya:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *